Ini ibarat orang mendengar lagu, lalu mendengar awalnya lagu saja, tanpa mendengarkan refrainnya, lalu menilai lagu itu lagu tentang kesedihan, padahal lagu itu sebenarnya lagu tentang cerita hidup yang berarti indah---lagu motivasi.
Persoalan juga bertambah rumit, karena ada kata-kata yang membuat tingkat sensitifnya memang bertambah, seperti "elitis" dan "rakyat" yang digunakan Pandji dalam videonya itu.
Nah, meskipun mungkin hanya untuk mendramatisasi konteks, tapi wajah NU dan Muhammadiyah seperti "tercoreng" karena selama ini mencitrakan dirinya sebagai organisasi yang merangkum semua level dan dekat dengan rakyat kecil.
Dari penjelasan Tamrin dan melihat inti persoalannya, maka kita dapat belajar bahwa  dalam hal menjelaskan sesuatu dan ingin mengambil konklusi atasnya, maka kita perlu berhati hati dalam teks, yakni tidak melupakan konteksnya. Ini terasa penting, agar dapat melihat sebuah fenomena dan persoalan secara komprehensif.
Selain itu, penjelasan Tomagola meskipun dapat meredakan narasi yang terbentuk tapi kemungkinan besar akan berhadapan dengan pertanyaan baru lagi. Apakah memang, di Jakarta seperti itu, bahwa NU dan Muhammadiyah meninggalkan umat di daerah kumuh dan miskin?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI