Semuanya adalah kesementaraan belaka. Tidak ada yang sungguh jahat dan baik pada dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa ditolak, ataupun diterima. Maka cuma satu yang bisa kita lakukan: tertawa selepas-lepasnya.“- Longchenpa.
Ungkapan di atas adalah sedikit ajaran dari filosofi Zen. Mengajarkan agar melihat hidup jangan terlalu serius. Jika jujur melihatnya maka hidup adalah absurditas yang mengundang tawa. Segala hal dapat berubah-ubah. Cerah dan mendung dapat berganti dengan cepat.
Saya setuju dengan hubungan absurditas dan tawa ini. Bahkan meminjam pemikiran filsuf asal Jerman bernama Edmund Husserl soal bercermin, zurck zu den Sachen selbst, kembali ke obyek atau pada dirinya sendiri, maka absurditas ini nampak jelas ketika saya mencoba bercermin tentang apa yang telah terjadi pada tahun 2020.
Dalam bercermin, pantulan yang terjadi nampak sebagaimana adanya. Bahkan menimbulkan keterkejutan akan apa yang telah direncanakan dan realita yang terjadi.
Semuanya hampir tak terduga, sontak muncul menggerus eksistensi kesadaran saya sebagai pereguk dan pada akhirnya menjelang akhir tahun saya hanya bisa tertawa lepas saat mematri realitas kehidupan yang telah terjadi.
Bagaimana bisa, di awal tahun saya berencana untuk melanjutkan studi, namun beasiswa yang ingin disasar dikurangi jatahnya dan dengan alasan pandemi, beasiswa ke luar negeri juga dibatasi. Saya khawatir, sampai kapan ini berlangsung?
Akhirnya saya terpaksa tetap terpaku di bengkel kayu di mana saya bertugas sebagai seorang instruktur pelatihan, melatih masyarakat untuk membuat furnitur.
Dulu, setiap saya mendapat kesempatan belajar, studi, bimtek, atau training, doa saya tetap sama agar ilmu yang saya dapatkan bisa saya gunakan untuk kebaikan orang lain.
Hari ini, batal untuk studi karena pandemi, tetapi ilmu yang saya punya sekarang ternyata semakin bisa berguna bagi orang lain. Melihat realita ini, saya tertawa lepas. Melihat tetap ada blessed in disguise, ah tidak, ini real blessed.
Cerita yang tersenyum akhirnya lahir dari peristiwa yang terjadi di keluarga besar. Papa dan mama sudah lanjut usia, sudah 80-an tahun, dan mama sudah sejak lama divonis menderita penyakit jantung, dan bahkan karena usianya tidak disarankan dipasang alat pembantu.
Setiap tahun di bulan Maret, mama harus check up ke Jakarta. Selain untuk keperluan kesehatan, ke Jakarta juga membuat mama bisa sedikit refreshing bertemu anak dan cucu-cucunya. Memang ada kakak yang tinggal dan bekerja di Jakarta.
Mama bukanlah orang yang suka tinggal diam di rumah. Di usia yang terbilang uzur mama masih terus beraktivitas baik di pelayanan gereja, maupun juga di lingkungan sekitar, pertemuan ibu-ibu, eh... pertemuan oma-oma sebenarnya.
Di bulan Maret, pandemi semakin menghebat. Mama terpaksa urung ke Jakarta. Saya dan keluarga khawatir, apa yang akan terjadi dengan mama yang super aktif ini jika hanya tinggal di rumah.
Peristiwa menakjubkan terjadi, di bulan April, mama terlihat sehat-sehat saja, maka sangat sehat. Wajah mama terlihat lebih segar, di bulan Mei dan selanjutnya, meski lebih banyak di rumah saja, mama nampak segar.
Apa yang terjadi pada mama? Sebenarnya bukan mukjizat juga, tapi hal baik memang terjadi di saat kekhawatiran melanda. Mama lebih punya waktu di rumah bercertai dengan papa, menonton acara favoritnya di televisi, “Si Doel Anak Sekolahan”, lalu anak dan cucu lebih sering ke rumah menjenguknya.
Tingkah anak dan cucu yang sering mencandai dan dicandai mama membuat mama banyak tertawa girang di masa pandemi ini. Mama nampak sangat senang karena waktu yang banyak bersama keluarga—papa, anak, dan cucu. Saya sampai bercanda, “ternyata kegirangan hati mama itu bukan karena Jakarta dan belanja di mal saja”.
Di hari natal ini, mama nampak sehat dan bugar, lebih bugar dari natal-natal tersenyum. Bincang-bincang natal tidak diisi lagi dengan diskusi tentang rencana check up mama pada 2021 nanti, tidak. Mama terlihat bahagia sekali.
Memang benar ungkapan lama bahwa hati yang gembira adalah obat. Kegirangan, tertawa itu memang menyembuhkan. Tertawa adalah obat terbaik. Ini amat sangat benar. Tertawa menghapus tegangan hidup sehari-hari. Tertawa menghapus rasa bosan yang mencekik jiwa. Orang-orang yang berbeda berkumpul bersama untuk tertawa bersama.
Saya semestinya dapat tertawa lepas karena pada akhirnya everything will be alright, semuanya akan baik-baik saja, tertawalah.
Siapa yang pernah mengira bahwa bangsa ini tetap berjalan hingga akhir tahun ini dengan walafiat, apalagi di tengah badai pandemi Covid-19? Persoalan tetap ada tetapi bangsa ini tetap bisa bergerak maju.
Berita-berita dari dunia politik bahkan memberi teduh dalam tawa. Misalnya; dalam kekhawatiran situasi politik yang kacau pasca-Pilpres 2019 lalu, siapa yang pernah mengira Desember ini, Sandiaga Uno pada akhirnya betul-betul duduk semeja dengan Prabowo sebagai menteri Presiden Jokowi. Semuanya menjadi baik-baik saja, amat baik.
Lalu berseliweran di media sosial berbagai kalimat dengan meme kocak. “Jika tahu begini, mengapa kita harus gontok-gontokan di Pilpres lalu?”. Lha, saya tertawa lepas melihat bagaimana realita politik ini terjadi.
Kita memang terlalu tegang, bahkan untuk tertawa lepas saja kita enggan, padahal di tengah kondisi apapun sebagai bangsa kita semestinya bisa tertawa dalam humor kehidupan ini.
Ada kalimat menarik dari Bertold Brecht (1898-1956) tentang ini. Brecht mengatakan bahwa “Sengsara, hidup di negara yang tidak memiliki humor, tetapi lebih sengsara lagi hidup di negara yang membutuhkan humor”.
Ada fakta menarik terungkap. Bangsa-bangsa dengan peradaban tinggi memiliki humor yang baik dengan tawa lepas. Persia mempunyai Abu Nawas (756-814), penyair dan sosok bijak yang kocak. Inggris memiliki Charlie Chaplin (1889-1977), dan Nasrudin Hodja dari Turki, figur sufi satrikal yang tiada pada abad ke-13.
Indonesia jelas memiliki tokoh dengan sosok unik yang mampu melontarkan gagasan nan kontroversial dan mengundang gelak tawa dalam diri almarhum Gus Dur. Dalam humornya, Gus Dur mampu menunjukan kecerdasan, wawasan, dan visi jauh ke depan.
Dalam humornya, Gus Dur mampu menggugah kehangatan, keakraban, dan keceriaan hingga kegetiran atau kepahitan terhadap realita yang ada. Gus Dur malah mengajak kita untuk menertawakan diri sendiri sebagai bentuk kebebasan.
Ada satu lelucon Gus Dur yang cukup terkenal saat dirinya diminta untuk mundur sebagai seorang presiden yang dituduh terkait dengan skandal Brunaigate. Dengan enteng Gus Dur menjawab, “Sampeyan ini bagaimana, wong saya ini maju saja susah, harus dituntun, kok disuruh mundur…”
Lebih lanjut dalam buku Mati Ketawa Cara Rusia, Gus Dur menjelaskan bahwa kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.
Okay, mari kita belajar dari Gus Dur. Gus Dur mampu melihat segala sesuatu dengan porsi yang tepat, tidak terlalu tegang dan mampu tertawa lepas, melepas ketegangan.
Sama seperti memulai 2020 dengan ketegangan dan di akhir 2020 dapat tertawa lepas karena banyak hal dapat terlewati, begitulah cara melihat 2021 nanti.
Kita tidak pernah tahu ke depan, situasi bisa jadi secara personal berubah menjadi kontraproduktif dan munafik, tempat di mana realita tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan. Ketegangan terjadi dan yakinlah bahwa tertawa lepas menjadi cara untuk membebaskan diri dari beban tekanan ini.
Ayo mari, Indonesia butuh ketawa, tertawa lepas, dan seperti biasa, everything will be alright.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H