Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

3 Alasan Mengapa Leipzig Dilumat PSG dengan Mudah

19 Agustus 2020   04:58 Diperbarui: 19 Agustus 2020   05:37 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PSG melaju ke final usai taklukkan Leipzig 3-0 I Gambar : David Ramos/Gettyimages

Entah mengapa di menit ke-56, tiba-tiba bek Leipzig, Nordi Mukiele terjatuh sendiri saat men-dribble bola tak jauh dari kotak penati. Bola terlepas dan Angel Di Maria langsung melepaskan umpan cantik kepada Juan Bernat yang bebas menanduk bola di depan gawang. Gol!. Gol ketiga PSG di pertandingan tersebut yang membuat perjuangan Leipzig tamat.

Kebobolan tiga gol, tanpa membalas satu golpun seperti menjadi antiklimaks dari apa yang dilakukan oleh klub asal Jerman itu di Liga Champions musim ini. Leipzig tampil perkasa dan membuat banyak kejutan. Tottenham Hotspurs disingkirkan dan Atletico ditendang di perempat final.

Asa untuk melihat Leipzig terbang tinggi membumbung tinggi, namun di hadapan PSG, semua mimpi itu buyar. Di Estadio De Luz, Leipzig ditaklukkan PSG 0-3, dengan gol dari Marquinhos, Angel Di Maria dan Juan Bernat.

Ada apa dengan Leipzig, mengapa takluk dengan begitu mudahnya? Paling tidak ada 3 (tiga) alasan yang dapat dikemukakan.

Pertama, pendekatan pertahanan dalam taktik 3-5-2 pelatih  Julian Nagelsmann yang kali ini kurang berhasil.  

Pelatih RB Leipzig, Julian Nagelsmann jelas menjadi sorotan dalam pertandingan ini. Keberhasilan melangkah ke semifinal dilihat sebagai faktor Nagelsmann dalam mengemas taktik yang disiapkannya. Sayang, kali ini taktiknya kurang ngepas, bahkan dapat dikatakan membantu PSG untuk menang.

Jika kita perhatikan 3-5-2 ala Nagelsmann ini dapat berubah menjadi 3-4-3 saat menyerang atau menjadi 4-5-1 saat bertahan. Bek sayap, Angelino di sisi kiri terlihat fleksibel dalam merubah taktik ini. Saat Angelino maju, menjadi 3-4-3 dan saat Angelino mundur, formasi berubah menjadi 4 bek sejajar.

Tak ada yang keliru dari transformasi taktikal tersebut, persoalannya adalah garis pertahanan Leipzig yang nampak terlalu dalam.

Tiga bek sejajar Leipzig;  Upamecano, Klosterman dan Mukiele terlalu dalam menjaga daerah mereka. Hal ini nampaknya dilakukan agar dapat menjaga kecepatan Neymar dan Mbappe sekaligus membuat aliran bola "satu dua" yang mengandalkan kecepatan Neymar, Mbappe dan Di Maria mudah dihentikan.

Nampaknya efektif, hanya persoalannya, Leipzig lupa, bahwa garis pertahanan yang mundur terlalu di belakang melahirkan persoalan baru. Jika tak jeli, maka akan  membuat jarak antara lini tengah dan depan terlalu jauh. 

Ruang kosong ini tanpa disadari membuat PSG mudah bergerak merubah pola serangan mereka. Serangan tidak lagi direct ke sayap, atau bertumpu pada Neymar, namun build up serangan PSG dibangun dari belakang, melalui Marquinhos.

Kehilangan pressing tinggi dari Leipzig membuat Marquinhos menjadi regista yang bergerak bebas membangun serangan atau melepaskan umpan terobosan cepat membelah pertahanan Leipzig--yang lagi mengarah ke sayap. Leipzig menjadi kerepotan dan terlebih daripada itu terpkasa dibuat kehilangan momentum untuk menguasai bola lebih banyak.

Padahal, ball possession adalah koentji. Menguasai bola lebih banyak seperti membuka peluang dan memaksa agar lawan membuat kesalahan atau pelanggaran sendiri--itu semua berhasil dilakukan oleh PSG dengan efektif khususnya di babak pertama.

Di babak kedua, Nagelsmann mulai menyadari itu, tetapi sudah terlambat. Leipzig berhasil membuat penguasaan bola tidak berselisih terlalu banyak dengan 44% berbading 54% saja, tetapi PSG sudah terlalu rapat menutup pertahanan mereka setelah marjin gol mereka berubah menjadi tiga.

Kedua, gegenpressing ala PSG yang bekerja dengan maksimal, yang membuat Leipzig sering melakukan kesalahan sendiri.

Gol kedua dan ketiga PSG adalah buah dari kesalahan Leipzig ketika nampak panik saat ditekan pemain lawan. Untuk ini, kredit pantas diberikan kepada para pemain tengah PSG yang nampak ciamik dalam memainkan gegenpressing ala Liverpool.

Setiap kehilangan bola, Ander Herrera atau Leandro Paredes selalu menempel ketat pemain Leipzig. Ada dua pemain PSG yang sering menjadi builder saat membuka serangan dari kaki ke kaki, yaitu Kevin Kampl dan Marcel Sabitzer. Kedua pemain ini mati kutu karena pressing ketat para pemain PSG.

Neymar cs merayakan gol Marquinhos I Gambar : shutterstock
Neymar cs merayakan gol Marquinhos I Gambar : shutterstock
Bukan saja gagal dalam membangun serangan, kedua playmaker Leipzig ini juga dipaksa membuat kesalahan sendiri saat di-pressing Herrera atau Marquinhos, sehingga membuat celah di pertahanan Leipzig terbuka lebar. Saat itulah Upamecano, Mukiel atau Klostermann kehilangan posisi saat ingin menutup ruang kosong yang tercipta. Gol kedua PSG sangat jelas menunjukkan hal ini, dan berbagai peluang yan tercipta melalui skema ini.

Menariknya, jika kita perhatikan saat laga perempatfinal, PSG yang dibuat kesulitan oleh gaya permainan ini oleh Atalanta, namun kali ini Thomas Tuchel membalikkan situasi terhadap Leipzig. Memang, pelatih yang hebat adalah pelatih yang dapat segera mengevaluasi permainan, dan menemukan cara yang tepat untuk memperbaikinya.

Sebenarnya, Nagelsmann terlihat sudah  menginstruksikan pemainnya agar bermain bola panjang karena terus di-pressing dari garis pertahanan. Upamecano beberapa kali langsung melepaskan umpan ke arah Nkunku atau Lamier,  sial bagi Leipzig, Tuchel sudah cepat membaca gerak itu dengan menginstruksikan agar dua full backnya, Kehrer dan Bernat tak terlalu maju ke depan. Leipzig secara taktikal sudah kalah di babak pertama.

Saat di babak kedua, Nagelsmann menaikkan garis pertahanan dan lebih agresif. Akan tetapi inilah juga yang membuat bek sayap PSG seperti Juan Bernat sudah lebih bebas ikut menyerang. Hasilnya gol dari Bernat terjadi, membuat pertandingan nampak sudah usai seusai gol tersebut. Kontra taktikal kali ini harus diakui dimenangkan Tuchel. 

Ketiga, Leipzig nampak tak lagi tajam di depan karena kehilangan Timo Werner.

Pendukung Leipzig pasti sangat merindukan Timo Werner saat ini, apalagi saat ketinggalan gol dalam pertandingan melawan PSG. Timo Werner--Penyerang paling produktif mereka itu tak bisa tampil karena sudah harus bergabung dengan klub barunya, Chelsea.

Timo jelas amat dibutuhkan apalagi saat Nagelsmann merubah Leipzig menjadi lebih agresif di babak kedua. Leipzig lalu memiliki banyak peluang, namun yang terlihat kerbau merah, yang nampak marah tapi hanya bisa bergerak liar tanpa melukai siapa-siapa. Leipzig  tak punya lagi pemain depan yang dapat merubah pertandingan seperti Timo.

Yousuf Poulsen nampak terisolasi, sedangkan Patrick Schick yang dimasukkan di babak kedua lebih suka men-dribble bola daripada menendang ke gawang dan Emil Forsberg lebih cocok menjadi playmaker daripada eksekutor. Leipzig tak berdaya di depan.

Jika ada Timo Werner, mungkin saja ketika Forsberg  mulai meliuk membuka ruang, Werner---seperti biasa akan berlari diagonal, mendapat ruang kosong lalu melepaskan tendangan ke arah gawang. Selain itu, Poulsen harus diakui tak mendapat duet sehati lagi, karena nampaknya Poulsen dan Schick masih sering salah paham dalam membaca pergerakan masing-masing.

Artinya begini. Untuk pertandingan level tertinggi seperti Liga Champions, kualitas individu juga amat diperlukan, bukan sekedar kemampuan taktikal dan kolektifitas permainan. Untuk ini, PSG jelas unggul jauh. Di bench mereka masih ada Mauro Icari, Pablo Sarabia dan Choupo Mouting ketika Mbappe atau Di Maria kelelahan.

Di tengah apalagi. Julian Draxler dan Marco Veratti dimasukkan menggantikan Leandro Paredes dan Ander Herrera. PSG tidak kehilangan kualitas dengan pergantian pemain mereka. Kedalaman skuad mereka membuat mereka tetap tajam dan berbahaya, meski melakukan pergantian di lapangan. Untuk ini, Leipzig jelas kalah segala-galanya.

Sebagai konklusi, saya kira PSG memang pantas di berada di final. Secara taktikal, Nagelsmann harus mengakui keunggulan sang "guru" Thomas Tuchel. Beberapa jam sebelum pertandingan, Tuchel yang pernah menjadi pelatih Nagelsmann saat masih bermain di akademi Augsburg memuji mantan anak asuhnya tersebut.

Tuchel mengatakan sebagai pemain, Nagelsmann nampak sebagai seseorang yang berkemauan keras. Selain itu, Nagelsmann juga sering bertanya pada pelatih akan taktik yang dipakai di lapangan, karena itu Tuchel mengatakan bahwa Nagelsmann adalah orang yang suka pada hal-hal yang detail, dan itu akan hebat ketika dirinya menjadi seorang pelatih.

Tuchel memang benar. Namun, hal yang detail bukanlah segala-galanya, apalagi hal yagn detail itu harus segera mengalami perubahan karena taktik lawan yang amat jeli membaca yang detail tersebut. Kali ini Nagelsmann harus mengakui bahwa Tuchel lebih hebat.

Secara taktik, 4-3-3 Tuchel dapat dikatakan berjalan sempurna. Jika pada akhirnya, secara taktik mereka seimbang pun, kekuatan individu akan berbicara, dan harus diakui sosok seperti Neymar, Mbappe dan man of the match dalam pertandingan tadi, Angel Di Maria lebih indah untuk dinikmati di final nanti.

Selamat, PSG.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun