Ketiga, Leipzig nampak tak lagi tajam di depan karena kehilangan Timo Werner.
Pendukung Leipzig pasti sangat merindukan Timo Werner saat ini, apalagi saat ketinggalan gol dalam pertandingan melawan PSG. Timo Werner--Penyerang paling produktif mereka itu tak bisa tampil karena sudah harus bergabung dengan klub barunya, Chelsea.
Timo jelas amat dibutuhkan apalagi saat Nagelsmann merubah Leipzig menjadi lebih agresif di babak kedua. Leipzig lalu memiliki banyak peluang, namun yang terlihat kerbau merah, yang nampak marah tapi hanya bisa bergerak liar tanpa melukai siapa-siapa. Leipzig  tak punya lagi pemain depan yang dapat merubah pertandingan seperti Timo.
Yousuf Poulsen nampak terisolasi, sedangkan Patrick Schick yang dimasukkan di babak kedua lebih suka men-dribble bola daripada menendang ke gawang dan Emil Forsberg lebih cocok menjadi playmaker daripada eksekutor. Leipzig tak berdaya di depan.
Jika ada Timo Werner, mungkin saja ketika Forsberg  mulai meliuk membuka ruang, Werner---seperti biasa akan berlari diagonal, mendapat ruang kosong lalu melepaskan tendangan ke arah gawang. Selain itu, Poulsen harus diakui tak mendapat duet sehati lagi, karena nampaknya Poulsen dan Schick masih sering salah paham dalam membaca pergerakan masing-masing.
Artinya begini. Untuk pertandingan level tertinggi seperti Liga Champions, kualitas individu juga amat diperlukan, bukan sekedar kemampuan taktikal dan kolektifitas permainan. Untuk ini, PSG jelas unggul jauh. Di bench mereka masih ada Mauro Icari, Pablo Sarabia dan Choupo Mouting ketika Mbappe atau Di Maria kelelahan.
Di tengah apalagi. Julian Draxler dan Marco Veratti dimasukkan menggantikan Leandro Paredes dan Ander Herrera. PSG tidak kehilangan kualitas dengan pergantian pemain mereka. Kedalaman skuad mereka membuat mereka tetap tajam dan berbahaya, meski melakukan pergantian di lapangan. Untuk ini, Leipzig jelas kalah segala-galanya.
Sebagai konklusi, saya kira PSG memang pantas di berada di final. Secara taktikal, Nagelsmann harus mengakui keunggulan sang "guru" Thomas Tuchel. Beberapa jam sebelum pertandingan, Tuchel yang pernah menjadi pelatih Nagelsmann saat masih bermain di akademi Augsburg memuji mantan anak asuhnya tersebut.
Tuchel mengatakan sebagai pemain, Nagelsmann nampak sebagai seseorang yang berkemauan keras. Selain itu, Nagelsmann juga sering bertanya pada pelatih akan taktik yang dipakai di lapangan, karena itu Tuchel mengatakan bahwa Nagelsmann adalah orang yang suka pada hal-hal yang detail, dan itu akan hebat ketika dirinya menjadi seorang pelatih.
Tuchel memang benar. Namun, hal yang detail bukanlah segala-galanya, apalagi hal yagn detail itu harus segera mengalami perubahan karena taktik lawan yang amat jeli membaca yang detail tersebut. Kali ini Nagelsmann harus mengakui bahwa Tuchel lebih hebat.
Secara taktik, 4-3-3 Tuchel dapat dikatakan berjalan sempurna. Jika pada akhirnya, secara taktik mereka seimbang pun, kekuatan individu akan berbicara, dan harus diakui sosok seperti Neymar, Mbappe dan man of the match dalam pertandingan tadi, Angel Di Maria lebih indah untuk dinikmati di final nanti.