"Aku akan memberi nama yang lebih bagus...Kompas! Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!," sahut Bung Karno.
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Kompas yang terbit pertama kali di Jakarta pada 28 Juni 1965 ini memiliki kaitan unik dengan pahlawan revolusi, Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani. Bagaimana bisa demikian?
Diceritakan dalam salah satu buku biografi tentang Jakob Oetama, bahwa Kompas lahir berkat ide Jenderal A. Yani. Suatu ketika A. Yani yang menjabat seabgai Menteri Panglima Angkatan Darat mengusulkan agar kalangan Katolik mendirikan sebuah harian dan surat kabat pada tahun 1964.
Ini bisa dianggap sebagai sebuah saran politik, karena A. Yani merasa bahwa kalangan Katolik dirasa mampu untuk menemukan sebuah acara yang bisa mengimbangi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada waktu itu. Mendirikan sebuah surat kabar dinilai menjadi langkah tepat untuk menandingi kekuatan PKI yang waktu itu kuat dalam narasi.
Jika ditelisik, Kompas memang bukan untuk menandingi PKI secara langsung, tetapi sebuah ide untuk membangun koran guna menandingi surat kabar Harian Rakjat yang giat menjadi corong PKI saat itu.
Ide ini lalu dibahas oleh P.K Ojong, Jakob Oetama, Frans Seda, p Swantora, RG Doeriat dan R. G Doeriat dengan melibatkan organisasi seperti Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Perhimpuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan lainnya.
Pertemuan ini tidak melahirkan Kompas terlbih dulu, tetapi Bentara Rakyat, media yang diterbitkan kalangan Katolik dengan ketuanya adalah Ignatius Joseph Kasimo, didampingi oleh Frans Xaverius Seda yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Perkebunan sebagai wakil ketua.
Jenderal A. Yani lalu terus mendorong dan menganjurkan agar media ini mesti berani beradu wacana dengan Harian Rakjat, sebuah harapan yang tidak mudah dilakukan karena situasi politik yagn terus memanas.
Bahkan syarat  izin operasi "dipersulit" dengan harus mendapatkan 3000 tanda tangan pelanggan terlebih dahulu. Memiliki tekad yang bulat, maka dikomandoi Frans Seda, tanda tangan itu mayortas didapatkan dari guru sekolah, dan anggota Kopra Primer di tiga kabupaten di Flores, asal Frans Seda.
Setelah izin beres, menjelang terbit, Frans Seda melapor ke Soekarno tentang kesiapan Bentara Rakjat. Dari pertemuan ini, Bung Karno nampak tidak sreg dengan nama Bentara Rakjat dan meminta menggantinya dengan Kompas.Â