Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradoks dari Tindakan Oknum Guru Predator Seks di Bojonegoro

13 Juni 2020   05:42 Diperbarui: 13 Juni 2020   05:53 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oknum guru MH setelah ditangkap pihak kepolisian I Gambar : Tribunnews

Berbagai media sudah ramai membicarakan tindakan memalukan yang dilakukan seorang guru di Bojonegoro, Jawa Timur, berinisial MH (37). Oknum guru ini bahkan dijuluki di beberapa media daring dengan sebutan “predator seks”. Julukan yang terakhir dilabel pada Reynhard Sinaga di Inggris.

Alasan sebutan predator seks ini mungkin karena jumlah korban MH yang cukup banyak, yakni mencapai total ada 25 wanita. Ke-25 korban itu difoto bugil oleh MH dengan berbagai modus bahkan dari hasil penyelidikan kepolisian, ada tiga diantaranya yang telah disetubuhi pelaku.

Setelah kemarin siang membaca berita soal peristiwa ini di beberapa media online, tadi malam saya juga kebetulan melihat tayangan berita tentang kasus ini salah satu stasiun televisi, dengan beberapa pertanyaan yang diberikan oleh pembaca berita ke polisi secara live.

Salah satu pertanyaan yang menjadi fokus dari pembawa berita itu adalah apakah korban adalah remaja, karena MH kabarnya adalah seorang guru di tingkat SMP.

Pihak kepolisian lebih lanjut menjelaskan bahwa rata-rata usia korban adalah usia 15 hingga 25 tahun rata-rata, dan penyelidikan menunjukan bahwa tiga model yang telah disetubuhi MH adalah dua siswi SMP dan seorang mahasiswi.

***

Saya melihat dari wawancara singkat itu adalah framing yang terbentuk bahwa kasus ini menjadi perhatian khalayak bukan saja karena jumlah korban dan modus yang digunakan pelaku tetapi karena profil guru yang melekat kepada MH.

Bagi banyak orang, tentunya seorang guru adalah sebuah profil mulia, dimana bukan saja dapat  mencerdaskan bangsa melalui kegiatan yang dilakukan namun juga juga menjadi suri tauladan bagi orang di sekitarnya.  

Sehingga apa yang dilakukan oleh oknum guru MH ini tentu menjadi sebuah paradoks dari apa yang seharusnya dia jalani.

Inilah juga yang membuat publik tentu tidak habis pikir, bagaimana bisa MH yang notabene seorang guru dapat melakukan perbuatan yang senonoh seperti itu?

Maksud saya seperti ini, bukankah seharusnya ada pergulatan batin di dalam diri seorang MH ketika melakukan tindakan amoral tersebut. Pergulatan ketika identitas seorang guru di dalam dirinya seperti berontak ketika dia melakukan tindakan tak terpuji terhadap para korban, yang beberapa di antaranya diketahui adalah siswa di sekolah.

Seorang guru semestinya menjadi teladan dan itulah ekspetasi atau harapan publik selama ini, meskipun saya juga paham, bahwa ini adalah sesuatu yang lebih gampang dibicarakan daripada dilakukan.

Seorang teman yang berprofesi seorang guru dan telah berkeluarga pernah menceritakan kepada saya, bahwa salah satu beban berat bagi dirinya adalah menyelaraskan apa yang diajarkan olehnya di sekolah, tentang pelajaran, etika dan nilai lainnya dengan apa yang dilakukannya di keluarga.

Menurutnya terkadang apa yang dilakukannya di sekolah berbeda dengan yang di rumah. Padahal dia ingin agar nilai yang diajarkannya di sekolah juga dapat diterapkannya di rumah, atau sebaliknya.

Saya mencoba menghiburnya dengan mengatakan bahwa identitas sebagai guru (pekerjaan), terkadang berjubah berbeda dengan identitas sebagai orang tua, dan itu wajar, dan semua orang mengalaminya.

“Tapi saya kan seorang guru?” kata teman tadi lagi, serasa ada yang salah.

Cerita berbeda nan inspiratif datang dari seorang dosen senior di fakultas Teknik, tempat saya belajar dulu. Di dalam sebuah pertemuan organisasi konstruksi saya mendengar tentang perbincangan kecil antara dirinya dengan sejawat konsultan lainnya.

Sejawat dari dosen yang sudah sepuh itu ingin mengatakan bahwa dosen senior tersebut memiliki peluang untuk mendapatkan proyek konstruksi karena anak didiknya sudah berada di posisi bagus di pemerintahan sekarang, setingkat PPK lah.

Lalu apa jawab dosen senior tersebut? Dia mengatakan bahwa dia sangat tidak mungkin melakukannya.

Dia beralasan, di ruang kampus dia selalu menggaungkan idealisme tentang proyek konstruksi yang jauh dari gratifikasi dan lain sebagainya, masak dia harus menjadi pelaku sekaligus melawan yang dia ajarkan di depan mantan muridnya?

Saya yang mencuri dengar perbincangan tersebut, lalu tertegun, bahwa masih banyak dosen atau pengajar yang identitasnya tetap nampak dimana dia berada. Ini sebuah pelajaran hidup yang sungguh berharga bagi saya.

***

MH pasti akan masuk penjara. Kabarnya dia hanya seorang guru honorer, mungkin saja dia jarang masuk dan pekerjaan guru itu hanyalah sambilan, pekerjaan aslinya mungkin adalah fotografer yang menjual foto panas ke pihak ketiga. Lupakan sudah dia.

Di sekeliling kita, masih ada guru-guru yang terus membeli teladan, baik dalam kelas maupun di dalam keseharian. Hidup dengan integritas tinggi, meski dalam kesederhanaan.

Saya melihat secara langsung keteladanan tersebut dari lingkungan keluarga,dari om dan tante yang berprofesi sebagai guru.

Kata orang yang pernah dididik oleh mereka dan kagum dengan kesederhanaan hidup mereka adalah menjadi guru itu hidupnya tidak akan berkelebihan, tetapi selalu dicukupkan . Alasannya karena mereka orang baik yang telah melakukan hal baik dalam keseharian mereka.

Salam hormat dari saya untuk semua guru.

Salam

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun