Seorang guru semestinya menjadi teladan dan itulah ekspetasi atau harapan publik selama ini, meskipun saya juga paham, bahwa ini adalah sesuatu yang lebih gampang dibicarakan daripada dilakukan.
Seorang teman yang berprofesi seorang guru dan telah berkeluarga pernah menceritakan kepada saya, bahwa salah satu beban berat bagi dirinya adalah menyelaraskan apa yang diajarkan olehnya di sekolah, tentang pelajaran, etika dan nilai lainnya dengan apa yang dilakukannya di keluarga.
Menurutnya terkadang apa yang dilakukannya di sekolah berbeda dengan yang di rumah. Padahal dia ingin agar nilai yang diajarkannya di sekolah juga dapat diterapkannya di rumah, atau sebaliknya.
Saya mencoba menghiburnya dengan mengatakan bahwa identitas sebagai guru (pekerjaan), terkadang berjubah berbeda dengan identitas sebagai orang tua, dan itu wajar, dan semua orang mengalaminya.
“Tapi saya kan seorang guru?” kata teman tadi lagi, serasa ada yang salah.
Cerita berbeda nan inspiratif datang dari seorang dosen senior di fakultas Teknik, tempat saya belajar dulu. Di dalam sebuah pertemuan organisasi konstruksi saya mendengar tentang perbincangan kecil antara dirinya dengan sejawat konsultan lainnya.
Sejawat dari dosen yang sudah sepuh itu ingin mengatakan bahwa dosen senior tersebut memiliki peluang untuk mendapatkan proyek konstruksi karena anak didiknya sudah berada di posisi bagus di pemerintahan sekarang, setingkat PPK lah.
Lalu apa jawab dosen senior tersebut? Dia mengatakan bahwa dia sangat tidak mungkin melakukannya.
Dia beralasan, di ruang kampus dia selalu menggaungkan idealisme tentang proyek konstruksi yang jauh dari gratifikasi dan lain sebagainya, masak dia harus menjadi pelaku sekaligus melawan yang dia ajarkan di depan mantan muridnya?
Saya yang mencuri dengar perbincangan tersebut, lalu tertegun, bahwa masih banyak dosen atau pengajar yang identitasnya tetap nampak dimana dia berada. Ini sebuah pelajaran hidup yang sungguh berharga bagi saya.
***