Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lakon Begundal Kelas Menengah yang Tak Tahu Diri

25 Mei 2020   07:18 Diperbarui: 25 Mei 2020   08:27 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi : Businessonline.com

 

Wajah lelaki itu terlihat geram dari atas mobil bututnya melihat beberapa orang berpeluh mendorong gerobaknya tanpa menggunakan masker. Mereka adalah para penjual kelapa. "Dasar manusia bodoh, taruh di mana otak mereka di situasi seperti ini tidak menggunakan masker?"

Lelaki yang sama juga yang ketika melihat rombongan orang berdesak-desakan depan kantor pos untuk menerima BLT, lalu dalam hatinya menghina para pendorong gerobak sebagai kaum yang tak tahu aturan. Lelaki itu memang begundal kelas menengah.

Memang, hanyalah begundal kelas menengah yang tak tahu diri yang melakukan itu. Begundal yang terlalu egois sehingga tak sempat mendongakkan kepala sehingga cahaya pemahaman dari atas tak sempat membuka pikiran mereka lebih luas akibatnya lepas ringan mengeluarkan cemooh yang membabi-buta seperti itu.

Pernahkah para begundal itu berpikir bahwa masker itu sudah tak nyaman untuk dipakai? Bayangkan, keringat itu masuk di sela-sela masker tipis, sehingga ketika pendorong gerobak itu hendak menarik napas mereka, saat itu juga masker tak layak itu menyakiti mereka. Sudah terlampau kotor, dan tak nyaman di telinga mereka.

Bukankah seharusnya mereka bisa membawa masker yang cuma bernilai 10 ribu, 20 ribu? Pikir Begundal merasa dirinya adalah ahli manajemen hidup kelas wahid.

Begundal itu seakan lupa, bahwa hanya keparat yang merasa bahwa 10 ribu itu mudah diraih oleh para pendorong gerobak itu saat ini. Memang hanya durjana kelas menengah yang sok berkecukupan tapi sebenarnya tak juga kaya raya,  namun cepat pongah menilai keadaan seperti itu.

Lalu begundal kelas menengah itu mulai berargumentasi bahwa kan ada banyak masker gratisan sumbangan? Namun dia  tak mau membuka matanya untuk celik bahwa banyak masker sumbangan, buatan sendiri yang kualitasnya tak tahan terlalu lama, tak memenuhi standar dan tak jarang yang bagus dipisahkan agar dapat dijajakan di pinggir jalan? Begundal sering berlagak lupa bahkan pura buta bahwa otak kapitalisme kelas teri dapat juga berkuasa saat pandemi.

Begitulah juga para begundal ini ketika melihat antrian massa di depan kantor pos. Mengumpat. Tak sadar bahwa orang --orang itu juga tak mau seperti itu, namun seamplop berisi 600 ribu bantuan pemerintah sangat berharga bagi mereka.

Meskipun harus berserempetan dengan bahaya bahwa Covid jahanam akan menular pada mereka, namun perut butuh nasi segera, meski hanya sekedar menambah tenaga agar dapat menggali lubang septictank  milik tetangga berwajah sinis dan kikir, saat proyek bangunan banyak yang harus terhenti saat ini.

Para begundal kelas menengah mungkin perlu segera pulang dan merenung. Pulang untuk tak mengotori jalanan dengan pikiran mereka, dan merenung untuk segera membuka pintu jikalau ada yang mesti dibantu.

Hanya yang diatas yang tahu bahwa ketika bunyi ketukan pintu sumbangan RT RW membawa proposal untuk dapat membantu kaum yang papa sering tak dihiraunya. Dirinya lebih senang bersembunyi, sambil tersenyum memandang  bangga celengan dari tanah liat berjumlah setengah lusin yang hampir penuh.

Syukur, jikalau mau menampakan wajah dengan senyum terpaksa, menuliskan sejumlah angka di atas proposal, lalu masuk ke kamar tidur, menepuk dada bahwa namanya akan dikenang laksana filantropi terkenal di dunia.

Dasar idiot, tak sadar bahwa filantropi terkadang hanyalah casing yang membuat jurang kelas elit dan priyayi hanya semakin lebar saja. Ya, memang hanya sampai di situ saja pemikiran para begundal.

Sebenarnya seusai merenung, menggumpal pinta yang tak terlampau ekstrim seperti memohon agar harta dijual lalu dibagikan kepada yang kesusahan,  tidak sampai seperti itu. Seusai merenung, cukup saja membiasa untuk memberi senyum jika bisa iba ketika berpapasan dengan para pendorong gerobak itu dan lalu saja tanpa harus mengumpat.

Senyum penuh dusta mungkin lebih mulia daripada melihat orang-orang itu layaknya oknum napi biadab yang telah dibebaskan karena Covid-19 hanya untuk memberi ruang menyalurkan nafsu mesum.

Jikalau merasa senyum sudah terlampau mainstream, berhentikan lah sejenak mobil bututmu itu. Lalu keluarkan selembar uang berwarna biru, lalu membeli beberapa kelapa yang dijual pendorong gerobak itu.

Sesudah itu, bercengkeramalah sedikit meski basa-basi, paksakan itu janganlah angkuh. Di ruang musrembang, dirimu senang basa-basi,  masak sekarang memberi jarak kepada kaum yang seharusnya menikmati hasil basa basi di musrembang itu .

Selain itu, uang selembar berwarna biru tak seberapa bagi para begundal untuk membeli beberapa batok kelapa untuk menolong sejumlah batok kepala.

Namun sepertinya terlalu disayang untuk diberikan kepada kaum papa, tapi terlalu gampang dikeluarkan berlembar-lembar ketika ada acara ulang tahun di gedung negara, hanya untuk memperlihatkan diri sebagai orang yang soleh nan kaya, dan berilusi saat pemilu dibuatkan kartu nama.

Para begundal ini dalam senyum sinisnya juga memang sering berhitung. Berhitung dengan uang 600 ribu yang diterima oleh kelas rentan itu apa yang dapat dibeli mereka. Menghitung berapa kg beras, supermie, minyak goreng dan merasa itu terlalu cukup untuk orang-orang itu.

Untuk ini,  sekali lagi, begundal ini memang idiot, tidak pernah membayangkan bahwa uang itu bisa saja digunakan untuk keluarga yang berjumlah 10 orang di dalam rumahnya, sehingga seminggu bisa cukup, tapi sesudah itu hanya memberi wajah untuk dikasihani saat mengantre sekaligus rela diumpat oleh para begundal kelas menengah dari jalanan.

Beberapa hari ini, begundal kelas menengah ini mungkin akan tersenyum. THR akan diterima mereka secara utuh. Sesudah THR itu masuk rekening, dia duduk santai di atas kursi di depan televisi, sambil mengangkat kaki, menyaksikan berita berkisah para buruh yang THR mereka dicicil, atau  hanya dibayar setengah.

"Kasihan mereka..." kata begundal kelas menengah ini pada orang rumah yang pipinya sudah mulai menggelantung karena terlalu lama WFH. Sambil berjalan ke arah lemari pendingin dua pintu yang  susah ditutup pintunya karena hampir penuh isinya.

Dua botol bir diambilnya, dalam hati kecilnya dia tertawa, THR ini diterimanya utuh, dirayakannya pula, meski hanya untuk sementara karena setelah ini berbagai cicilan yang mencekik juga mesti segera dilunasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun