Â
Wajah lelaki itu terlihat geram dari atas mobil bututnya melihat beberapa orang berpeluh mendorong gerobaknya tanpa menggunakan masker. Mereka adalah para penjual kelapa. "Dasar manusia bodoh, taruh di mana otak mereka di situasi seperti ini tidak menggunakan masker?"
Lelaki yang sama juga yang ketika melihat rombongan orang berdesak-desakan depan kantor pos untuk menerima BLT, lalu dalam hatinya menghina para pendorong gerobak sebagai kaum yang tak tahu aturan. Lelaki itu memang begundal kelas menengah.
Memang, hanyalah begundal kelas menengah yang tak tahu diri yang melakukan itu. Begundal yang terlalu egois sehingga tak sempat mendongakkan kepala sehingga cahaya pemahaman dari atas tak sempat membuka pikiran mereka lebih luas akibatnya lepas ringan mengeluarkan cemooh yang membabi-buta seperti itu.
Pernahkah para begundal itu berpikir bahwa masker itu sudah tak nyaman untuk dipakai? Bayangkan, keringat itu masuk di sela-sela masker tipis, sehingga ketika pendorong gerobak itu hendak menarik napas mereka, saat itu juga masker tak layak itu menyakiti mereka. Sudah terlampau kotor, dan tak nyaman di telinga mereka.
Bukankah seharusnya mereka bisa membawa masker yang cuma bernilai 10 ribu, 20 ribu? Pikir Begundal merasa dirinya adalah ahli manajemen hidup kelas wahid.
Begundal itu seakan lupa, bahwa hanya keparat yang merasa bahwa 10 ribu itu mudah diraih oleh para pendorong gerobak itu saat ini. Memang hanya durjana kelas menengah yang sok berkecukupan tapi sebenarnya tak juga kaya raya, Â namun cepat pongah menilai keadaan seperti itu.
Lalu begundal kelas menengah itu mulai berargumentasi bahwa kan ada banyak masker gratisan sumbangan? Namun dia  tak mau membuka matanya untuk celik bahwa banyak masker sumbangan, buatan sendiri yang kualitasnya tak tahan terlalu lama, tak memenuhi standar dan tak jarang yang bagus dipisahkan agar dapat dijajakan di pinggir jalan? Begundal sering berlagak lupa bahkan pura buta bahwa otak kapitalisme kelas teri dapat juga berkuasa saat pandemi.
Begitulah juga para begundal ini ketika melihat antrian massa di depan kantor pos. Mengumpat. Tak sadar bahwa orang --orang itu juga tak mau seperti itu, namun seamplop berisi 600 ribu bantuan pemerintah sangat berharga bagi mereka.
Meskipun harus berserempetan dengan bahaya bahwa Covid jahanam akan menular pada mereka, namun perut butuh nasi segera, meski hanya sekedar menambah tenaga agar dapat menggali lubang septictank  milik tetangga berwajah sinis dan kikir, saat proyek bangunan banyak yang harus terhenti saat ini.
Para begundal kelas menengah mungkin perlu segera pulang dan merenung. Pulang untuk tak mengotori jalanan dengan pikiran mereka, dan merenung untuk segera membuka pintu jikalau ada yang mesti dibantu.