Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Bumbu Penyedap" di Perseteruan Arteria Dahlan Vs Najwa Shihab

5 Mei 2020   17:43 Diperbarui: 6 Mei 2020   09:05 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arteria Dahlan dan Najwa Shihab I Gambar : Kolase instagram dan Tribunews

Meski saya tidak berpuasa, tahun lalu beberapa kali saya menyempatkan ikut berbuka puasa bersama dengan teman sekantor. Entah pas kebetulan diajak karena ada hal yang akan diperbincangkan atau memang diundang karena ada hidangan khusus.

Seperti Aba Hasan yang pernah mengajak saya berbuka bersama di rumahnya. Saya ingat betul, hidangan utamanya saat itu adalah Ikan kuah asam, kebetulan masakan ini adalah menu kesukaan saya. Oh iya, sebagai informasi, Aba adalah panggilan akrab kami bagi lelaki dewasa muslim asal Flores.

Menu ikan kuah asam ini, jika dimasak di rumah saya, maka lebih sering menggunakan jenis ikan tompek, kalau di Kupang jenis ikan ini disebut dengan ikan lambada. Itu lho ikan yang kepalanya agak besar dan panjang.

Isi daging ikan ini lembut, isinya juga cukup tebal, sehingga jika dimasak ikan kuah asam, maka selain gurih, daging ikan yang tersisa di sela tulang-tulangnya juga bisa diseruput hingga habis. Nikmat joss.

Sebelum makan bersama, saya lalu iseng bertanya pada aba Hasan. “Menurut aba, ikan kuah asam ini kunci kenikmatannya itu di daging ikannya atau bumbunya?”

“Bumbu..om... belimbingnya jangan kebanyakan, rasa asemnya itu harus pas…” jawab aba dengan cepat dan detail sambil menyentuhkan jari telunjuk dan ibu jari saat mengatakan kata “pas” .

“Kalo saya sih yang utamanya daging ikannya aba. Kalo ikannya kurang segar, apalagi dagingnya terlalu tipis, maka kurang nikmat…” kata saya menimpali jawaban.

“Iya,..benar juga om, tapi bumbu itu penting sekali”.

“Daging ikan aba…” kata saya sengaja menyanggah saat itu.

“Ah, sudah, ayo mari makan…” kata aba tersenyum, mengajak makan, tak ingin berdebat lagi.

Sebenarnya soal bumbu dan ikan mana yang lebih penting, tetap mempunyai satu tujuan yaitu soal kenikmatan. Ikan tanpa bumbu penyedap juga percuma, apalagi bumbu penyedap tanpa ikan. Bumbunya pas, tidak berlebihan, dan ikannya juga tepat dan segar.

Masak hanya makan bumbu aja tanpa ikan, maksudnya kuahnya saja? Seharusnya keduanya itu imbang. Meski secara pribadi, saya tetap bersikukuh bahwa pilihan daging ikan itu yang utama.

*****

Dari analogi ini saya ingin membahas tentang percekcokan yang sedang panas antara anggota DPR, Arteria Dahlan (AD) dan Najwa Shihab (NS).

Saya menyebutnya dengan “rusuh”, karena hal yang sebenarnya dapat lebih santai dibahas, jadinya ribut tak karu-karuan.

Lihat, pagi-pagi, di salah satu status teman FB, ditulis gini:

“AD itu pernah satu satu kelas waktu kuliah dengan NS. Jadi NS itu pernah membantai AD saat diskusi tentang Euthanasia. (tambahannya) AD itu kakak kelas tapi tidak lulus mata kuliah tersebut”

Apakah status ini benar? entahlah. Tapi ini adalah bumbu yang membuat cerita ini menjadi sedap banget, apalagi bagi yang pro NS kan? Apa yang mungkin akan ada dipikiran kubu ini?

NS lebih pintar dari AD lah, dan mulai menyindir jika AD itu adalah mahasiswa yang tidak lulus mata kuliah, artinya bukan mahasiswa yang pintar dong, masak sekarang bisa jadi anggota DPR? Sedap toh.

Supaya imbang. Ada juga bumbu penyedap yang pro AD. Begini kira-kira nukilan statusnya:

“NS itu sebenarnya sedang balas dendam karena diserang oleh anggota dewan berkaitan dengan start up SEKOLAHMU yang berada di bawah PT Sekolah Integrasi Digital yang mendapatkan penunjukan proyek Kartu Pra Kerja. Konon katanya, start up ini ada hubungannya dengan NS”.

Apakah status ini benar? Lagi-lagi, tidak tahu. Tapi di luar itu, saya lebih tertarik untuk melihat bagaimana asupan bumbu untuk peristiwa ini akan berkembang dengan begitu liarnya di lini masa medsos kita.

Koentjinya memang tergantung lingkungan di media sosial kita dan cara kita memfilternya. Jika kita adalah orang partai apalagi separtai dengan AD maka postingan yang pro dengan AD akan bertebaran. Namun jika tidak, maka mungkin akan lebih banyak yang cenderung pro NS. 

Kalau sayasaat ini nampaknya asupan bumbu lebih banyak yang pro NS sih.

Poin yang ingin saya katakan adalah asupan ini harus terkontrol dengan baik. Jangan minim bumbu tapi juga jangan overdosis. Perlu rehat sebentar, dikecap dulu, dirasakan, apa benar takaran ketumbarnya sudah cukup, garamnya, asamnya, perlu ditelaah terlebih dahulu.

Mengapa harus demikian? Karena kita kan sepakat bahwa kenikmatan bukan soal bumbunya tetap juga soal isi dagingnya. Nah, ini yang membuat saya sebenarnya berpikir bahwa ini perlu diletakkan dengan kepala yang dingin bagi kedua pihak.

Untuk simplifikasi, sebenarnya ada dua hal saja yang perlu direspons oleh pihak tuan dan puan dewan dalam hal ini AD cs.

Pertama, benarkah DPR terkesan terburu-buru membahas beberapa RUU yang masih kontroversial seperti Omnibus Law, RUU KUHP, dan beberapa RUU terkait lainnya?

Kedua, benarkah DPR mengimpor jamu dari China yang belum teruji secara klinis untuk penanganan Covid-19?

Ini saja sebetulnya yang perlu dijawab. Jangan seperti mengundang bumbu lain ditambah dengan emosi sambil mengancam membuka aib penanya dan lain sebagainya. Hadehh..

Selebihnya, biar imbang dan jika diperlukan, NS hanya perlu menjelaskan (sekali lagi) posisinya di start up yang dituduhkan oleh dewan. Meskipun saya berpikir tidak terlalu penting jika dipandang dari porsi atau sisi conflict of interest di dalamnya.

"Rusuh" AD dan NS ini sekali lagi menandakan masih adanya kelemahan dari cara komunikasi politik dari para politisi kita. Dalam arti bahwa tidak semua politisi bahkan masih banyak yang belum mampu berargumen, mengklarifikasi, mengonfirmasi, dan sebagainya dengan baik, tetapi lebih suka marah-marah lebih dahulu.

Politik main hantam ini seperti sudah menjadi budaya. Keras tanpa pikir-pikir matang seperti dipilih untuk menjadi pandu. Sayang sekali.

Jadi menurut saya, AD perlu lebih tenang untuk mengonfirmasi atau menjelaskan dua narasi yang dikembangkan oleh NS itu, maka akan selesai sudah rusuh ini.

Karena jika tidak bumbunya akan bertambah terus dan penyakit seperti kolesterol, darah tinggi, dll, tidak akan sembuh-sembuh kan?

*****

Ada cerita pamungkas soal ini. Suatu kali di rumah, mama sedang memasak. Saat memasak datanglah tante saya, namanya tante Fina. Tante Fina ini paling suka ngegosipin orang dan provokator, sebab itu kami menyebut tante Fina sebagai kompor gas level satu.

Jeleknya, kalau tante sudah datang, bergosip dan sedang marah pada ibu-ibu lain maka mama juga akan ikut gondog, ikut meledak.

PERSOALANNYA adalah kalau mama marah dan saat itu sedang memasak, maka bumbu masakannya pasti kacau. Ikan garamnya akan kelebihan dan sangat asin, asam bertambah, dan sebagainya. Akhirnya, masakan itu sulit sekali untuk dimakan oleh kami semua.

Papa sudah tahu, makanya jika papa pulang menikmati masakan dan dirasa bumbu masakan mama kacau balau, maka papa tinggal berkomentar. “Tadi tante Fina ke sini ya?” Nah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun