Ada empat ciri-ciri definisi paradigmatis, yakni; disusun berdasarkan paradigma (pola pikir) nilai-nila tertentu, berfungsi untuk mempengaruhi sikap, perilaku, atau tindakan orang lain, bertujuan agar pembaca mengubah sikap sesuai dengan definisi, berhubungan dengan nilai-nilai tertentu, misalnya: bisnis, etika, budaya, ajaran, falsafah, tradisi, adat istiadat, pandangan hidup.
Melihat dari kedua penggolongan definisi saja, mungkin kita akhirnya setuju bahwa adalah sesuatu yang wajar, jika definisi itu bisa saja subyektif, meski untuk esensi yang dilakukan bisa obyektif.
Untuk ini setuju dengan yang dikatakan Najwa kegiatannya boleh sama, namun Najwa juga mesti paham bahwa meski kegiatan sama, maksud bisa saja berbeda, sehingga  Jokowi tidak bisa dikatakan keliru untuk itu.
Kerumitan ini membawa saya lebih tertarik membahas dari sisi konteks. Jokowi nampaknya menganggap bahwa menggolongkan mudik dan pulang kampung berbeda dari segi maksud bisa sangat strategis.
Salah satunya adalah dari menganalisa data. Apakah jumlah jiwa yang pulang kampung lebih banyak dari mudik, atau sebaliknya? Bukan itu saja, mengapa orang memilih pulang kampung daripada tidak sekalian menunggu mudik?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat pemerintah mulai berhitung. Berapa jumlah logistik yang harus disediakan untuk orang yang tidak mudik, lalu bagaimana daerah juga mempersiapkan diri untuk menerima orang yang telah pulang kampung. Â Setelah data itu dipertemukan, lalu kebijakan larangan mudik diberlakukan.
Tak apa menilai Jokowi salah mendefinisikan tentang mudik dan pulang kampung, namun jangan terlalu lama berada di situasi tersebut, harus ada yang dilakukan sekarang yaitu patuhi saja larangan pemerintah demi kebaikan bersama.
Bersama melawan pandemi covid-19 lebih penting daripada terus berargumentasi soal definisi "mudik dan pulang kampung."
Salam