Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pedagang Pisang dan Hoaks Sebelum Paskah

12 April 2020   20:34 Diperbarui: 12 April 2020   21:06 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Rabu kemarin saya ke pasar.  Pasar Inpres namanya, sepertinya pasar Inpres ini adalah pasar tradisional terbesar di Kupang. Saya pergi kesana sekitar jam 8 pagi pake sepeda motor. Sekitar 7 menit dari rumah, biasanya 10 menit, tapi karena Covid-19 jalanan Kupang juga sepi, lengang.

Sedihnya, di rabu itu, bukan saja jalanan, pasar juga sepi. Ya, sepi bukan seperti di kuburan lah, tapi tidak seramai biasanya. Indikasinya adalah jalan masuk ke dalam pasar yang ukuran semobil seperempat itu akan padat merayap di jam begitu. Namun kali ini sepi.

Jika ramai, sepeda motor saya biasanya harus berhenti beberapa kali untuk menghindar kaca spion motor menyenggol bokong besar mama-mama. Jika itu terjadi, maka namanya musibah. Saya lebih memilih tidak berada di situasi tersebut daripada jika menyenggol preman pasar.

Kalau dengan preman pasar tinggal bilang " jang marah kaka"...maka aman, lagian mereka butuh tambahan uang parkir, jika dengan mama-mama, maka umpatan "Bab*.." bisa keluar dengan probabilitas 60 persen, belum lagi jika mama itu  ada masalah di rumah, maka itu keranjang di tangannya bisa langsung menempel di helm penyenggol, pelampiasan baginya dan sial bagi yang kena.

Selain jalanan yang lapang itu, salah satu indikasi lain adalah pedagang pisang, tempat favorit saya juga sepi. Di lapak pisang kurang lebih sepanjang 10 meter itu, biasanya paling tidak akan ada 6 atau 7 pembeli yang sedang menawar sekaligus membeli pisang.

Tapi kali ini hanya saya sendirian. Ini situasi paling sulit, mungkin dalam hidup. Ada sekitar 5 atau 6 pelapak disitu. Mau beli dimana? Kurang enak hati. Semua wajah mengiba pada saya. Akhirnya saya memilih ke pedagang pisang seorang ibu yang berumur sekitar 50-an yang  sedang melamun.

"Mama...pisang kapok satu berapa?..."

"5000..."

"Pung murah lai" kata saya. Biasanya sih 10 ribu, jika ditawar palingan 7 ribu, itu pun dengan wajah muram pedagang , orang Kupang bilang "muka asam".

"Sepi nah kaka...."

Pisang kapok atau kapuk Kupang untuk membuat pisang goreng ini, menurut saya mungkin terenak di dunia, manis dan gurih kalau digoreng. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun