Ada sebuah teori menarik dalam ilmu komunikasi yang bernama framing. Dictionary of Mass Communication mengatakan bahwa  framing adalah teori atau proses tentang bagaimana pesan media massa memperoleh perspektif, sudut pandang, atau bias.
Lebih menariknya, teori framing kerapkali dikaitkan dengan teori agenda setting karena kedua teori tersebut berbicara tentang bagaimana media mengalihkan perhatian khalayak dari kepentingan sebuah isu ke dalam apa yang ingin diproyeksikan dan digunakan untuk mengetahui efek media.
Banyak sekali, teori framing yang bisa didapatkan baik dari buku, maupun dari tulisan artikel pendek, seperti yang saya lakukan untuk membuat tulisan ini. Â Frame atau bingkai itu bisa merupakan interpretasi media, yang tentu dapat mempengaruhi pembaca.
Poin ini yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.Â
Pagi tadi saya membaca diskusi menarik di media sosial  tentang soal pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang dengan nada gemetar berbicara tentang 283 orang meninggal dunia yang dimakamkan sesuai protokol covid-19.Â
Diskusi tentang pernyataan Anies ini, diambil dari satu link berita Kompas.com, "Suaranya Bergetar Sebut 283 Warga Dimakamkan, Anies: Itu Warga Kita yang Bulan Lalu Sehat". Si pembuat Ts di medsos memasukan link ini lalu mengatakan bahwa "Hati-hati, jangan terjebak framing karena yang meninggal soal Covid-19 itu hanya 76".
Komentarpun bermunculan, ada yang menganggap Anies lebay untuk membuat panik apalagi dengan gesture dan nada gemetaran di suaranya, namun ada yang mengatakan bahwa angka tersebut memang real, dan bisa saja semuanya karena Covid-19, lalu Anies memang tidak sedang bersandiwara.
Jika anda sudah membaca linknya, mari kita melihat framing yang ada diihat daru  beberapa sisi. Mengapa pembuat ts mengatakan bahwa hati-hati jangan terjebak? Pertama, dari segi judul memang sudah akan menimbulkan bermacam interpretasi. Bagi yang tidak kritis dan tidak mengikuti berita covid-19 (jumlah di golongan ini bisa saja cukup banyak), judul ini bisa dianggap sebagai data aktual  jumlah meninggal karena covid-19 di DKI Jakarta.
Kedua, dari isi berita. Bagian isi berita juga nampaknya mengatakan demikian, perhatikan bagian pernyataan Anies ini ""Ini menggambarkan bahwa situasi di Jakarta terkait dengan Covid-19 amat mengkhawatirkan. Karena itu saya benar-benar meminta kepada seluruh masyarakat Jakarta, jangan pandang angka ini sebagai angka statistik," ujar Anies dalam konferensi pers di Bakaikota, Senin (30/3/2020).
Jika anda hanya membaca judul dan juga hanya membaca sampai di bagian ini--apalagi  tanpa data tambahan, maka angka 283 warga meninggal itu bisa saja disimpulkan karena Covid-19.
Ada pernyataan Anies kemudian. " Anies bilang, belum tentu semua jasad yang dimakamkan itu merupakan pasien Covid-19, sebagian mungkin masih berstatus suspect (dicurigai) Covid-19, karena belum dites atau hasil tes belum rilis saat meninggal".
Kalimat inilah yang digunakan oleh komentator TS ini, untuk mendukung bahwa pernyataan Anies mungkin saja benar. Mungkin saja?, ya mungkin saja, data 283 itu faktual terjadi, mengatakan bahwa semua penguburan dilakukan dengan protokol covid-19 faktual, hanya angka 283 itu semuanya karena covid-19, mungkin saja.
Lalu bagaimana kemudian melihatnya? Seorang ahli sosiologi yang bernama Erving Goffman yang meletakan dasar framing mengatakan bahwa setiap individu tidak dapat memahami dunia secara utuh dan berjuang untuk menafsirkan pengalaman hidup mereka secara konstan serta untuk membentuk penalaran dari dunia yang ada di sekitar mereka.
Artinya framing yang terbentuk bisa berbeda-beda. Ada yang melihat gesture nada gemetaran saja, ada yang hanya melihat pemilihan kalimat yang dramatis dan dianggap memang disengaja Anies, namun ada juga yang melihat apa yang dilakukan Anues sebagai sesuatu yang biasa saja. .
Pembingkaian ini akan semakin berwarna dan jamak di media sosial apalagi ketika ada sesuatu yang melatarbelakangi (motif) terbentuknya frame-frame tersebut. Entah politik, entah faktor sosial, budaya dan sebagainya.
Ada yang masih melihat berita yang berkaitan dengna Anies adalah pertarungan politik Ahok Anies yang sudah lama berlalu, ada yang masih melihat Anies memainkan "drama" sebagai keinginan menjadi Presiden 2024, atau ada yang melihat Anies yang memang sedang pusing, kuatir, kelelahan menghadapi situasi yang tidak mudah ini.
Artinya, kita hanya perlu memilih menggunakan frame yang mana untuk melihat sebuah peristiwa, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungannya akan lebih bertolak ke arah bagaimana pikiran kita terbentuk soal tokoh, situasi politik dan lain sebagainya.
Untuk sekarang ini, saran saya, frame itu sebaiknya menjadi sesuatu yang positif, terutama  dalam mendukung pemerintah dalam menangani penyebaran covid-19, baik yang dilakukan Presiden Jokowi, Gubernur DKI Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya.
Paling akhir, turut berdukacita bagi seluruh keluarga korban covid-19. Semoga badai covid-19 ini dapat segera berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H