SAYA bermimpi akan ke Italia suatu saat, entah kapan. Pergi ke Roma, Milan dan tentu saja Turin, kota dimana kecintaan saya kepada sepak bola mulai berlabuh.
Ya, sejak awal tahun 1990-an, ketika salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan kompetisi Seri A, liga kasta teratas Italia, disitulah cinta itu bermekaran.  Melihat gairah sepak bola itu selalu bersemi  dengan luar biasa di negeri pizza itu.
Pesepakbola melantunkan kehidupan mereka dengan gerakan yang begitu indah di lapangan hijau. Â Alesandro Del Piero, Paulo Maldini, Fransesco Totti adalah nama-nama pesepakbola yang menjadikan gairah kehidupan menjadi berwarna dengan alas lapangan hijau.
Stadion-stadion  yang berdiri megah, menjadi saksi bagaimana lantunan keindahan itu berpaut dengan kegilaan suporter. Ah,  tidak semua mereka gila---kecuali yang rasis,  para tifosi itu sering menyiarkan kabar baik juga di dalam stadion.
Tifosi dapat amat hening ketika menundukan kepala sejenak ketika ada peristiwa kemanusiaan di belahan dunia lain, mereka membagikan cinta mereka dari lapangan sepak bola.
Saya semakin mencintai Seri A, juga karena Bergamo, kota dimana klub Atalanta menasbihkan diri sebagai klub pengejut terhebat di Liga Champion musim ini.Â
Kejutan adalah hasil dari perjuangan, dan perjuangan dari klub kecil seperti Atalanta Bergamo akan menjadi inspirasi yang hebat bagi manusia di segala penjuru.
Akan tetapi dimana mereka sekarang? Dimana keindahan itu? Dimana inspirasi? Dimana para tifosi sang pembagi antusiasme yang hebat itu?
Melalui tragedi, Virus corona telah menghentikan itu semua. Tifosi, orang-orang yang mencintai sepak bola tersebut mungkin sedang terkurung di rumah mereka, atau juga telah menjadi korban dari  liarnya keganasan covid-19 yang sudah membuat lebih dari  10.000 orang Italia meninggal dunia.
Dimana Juventus, dimana duo Milan, dimana Roma, dimana Atalanta? Â Hm, sudah mendung bahkan hitam pekat di kota-kota tersebut. Daniel Rugani, bek muda Juventus telah menjadi pesepakbola pertama yang terpapar virus corona, diikuti Blaise Matuidi dan Paulo Dybala.
Lebih parah lagi, ketika klub Milan dan Roma sedang memikirkan untuk memangkas gaji para pemain mereka, di Bergamo tak ada hari tanpa berkabung, hari esok mungkin tak dirindukan lagi di kota itu.Â
Kota itu telah menjadi hotspot dari penyebaran virus ini dengan ribuan orang telah meninggal.
Tak ada lagi pantulan semangat dari Joseph Ilicic atau Alejandro Gomez, pesepakbola yang  sudah dianggap seperti pahlawan karena mengantar Atalanta ke perempat final liga Champions Eropa. Â
Pantulan itu tak ada lagi, karena setiap yang bernafas di Bergamo hanya bisa memohon, jangan ada lagi perkabungan hari ini, tak tahu apabila esok.
Everything will be alright (?),  Semua akan baik-baik saja (?), "andr tutto bene" (?), terserah mau menggunakan atau  menghilangkan"tanda tanya".
Tak ada obyek lagi  bagi saya untuk membayangkan keindahan Italia, tidak di sepak bola, tidak juga di piazza kota.Â
Tak ada wisatawan yang berjalan di jalanan kecil dengan latar bangunan yang indah di Italia, tak ada pasangan yang berjalan-jalan dengan anjing mereka, Â atau sekelompok biarawati yang mungkin sedang bersukacita tersenyum indah ala Monica Belluci setelah pulang dari misa.
Jalanan sepi, kosong. Hanya para petugas keamanan yang berjalan cepat  dengan menggunakan masker dan pentungan, bukan untuk menjaga agar lockdown ditaati saja, tetapi juga untuk menjaga-jaga jika ada jenazah yang perlu dipindahkan.
"Andre tutto bene". Ya, seharusnya demikian harapnya. Ketika kematian jiwa semakin banyak, maka yang perlu bagi hidup adalah harapan bahwa semuanya akan menjadi lebih baik.
Frasa sederhana yang mungkin sempurna untuk dipikirkan saat ini, merupakan perasaan harapan dan solidaritas yang menyatukan orang Italia dalam beberapa minggu terakhir -- bersama melewati ini, tetap di rumah dan bernyanyi bersama dari balkon masing-masing.
Nampaknya pemerintah sudah berusaha melakukan yang terbaik, dan sudah terlalu terlambat jikalau harus saling menyalahkan saat ini.
Orang Italia dari seluruh bangsa terus  merespons bersama-sama dengan tugas masing-masing.
Himbauan tetap di rumah yang di Italia disebut dengan  iorestoacasa,  ("Aku tinggal di rumah") saat ini dilakukan dengan ketaatan penuh.
Dari sebuah artikel, saya menemukan bagaimana kekuatan yang dimiliki oleh orang Italia.Â
Dikatakan bahwa orang Italia, memiliki kekuatan kolektif yaitu merubah dari situasi buruk  dan ketidakpastian ke dalam kebaikan, artinya Italia mampu melewati semua ini  dengan tidak pernah kehilangan harapan.
Ada sebuah ungkapan latin dari jaman Bangsa Romawi Kuno yang mengatakan demikian, "Dum vita est, spes est" (Dimana ada kehidupan, pasti ada harapan), dan semoga itu akan dirasakan dan menjadi kekuatan orang Italiaterus menyebarkan harapan dan meningkatkan semangat menghadapi badai.
Kapan musibah ini akan berakhir? Tak ada satupun orang Italia yang tahu dan bisa menjawabnya, namun yang pasti mereka mengerti bahwa kekuatan untuk "menang" itu adalah dengan tidak pernah kehilangan harapan .
 "Andr tutto bene"
****
Baca Juga Tulisan : Tragedi! Sudah 9.134 Tewas di Italia dan Sepucuk Surat Lirih dari Francesca Melandri
dan  Virus Corona: 4.365 Tewas, Budaya dan Politik Spanyol Mempercepat Malapetaka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H