Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Merindukan Komentator Bola Zaman Rayana Djakasurya

9 Maret 2020   22:33 Diperbarui: 10 Maret 2020   10:17 4758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus komentator bola yang dinilai melecehkan perempuan patut disesali dan amat disayangkan. Sepak bola seharusnya jauh dari hal-hal seperti itu.

Oleh karena itu, saya setuju jikalau ada tindakan lebih tegas daripada sekedar permintaan maaf dari si komentator maupun televisi yang menyiarkan.

Meskipun demikian, saya tidak akan lebih jauh membicarakan kasus ini dari sudut hukum.

Namun saya lebih memilih untuk bertanya, ada apa dengan komentator bola kita? Apakah ada penurunan kualitas dari komentator bola kita?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya hanya akan berkomentar pendek, "saya merindukan komentator bola jaman Rayana Djakasurya".

Siapa Rayana Djakasurya?

Penggemar atau penikmat Liga Italia atau Seri A jaman 1990-an pasti akan mengingat nama ini.

Pada zaman itu, Rayana menjadi komentator yang banyak menyita perhatian penonton bahkan dinantikan kehadirannya.

Rayana memang selain menjadi komentator juga adalah seorang kontributor  yang sering melaporkan preview pertandingan langsung dari Italia.

Jika sudah berada di studio RCTI,  saat itu Rayana kerap bersanding dengan host Andi Darussalam.

Saya termasuk yang tidak ingin ketinggalan jika Rayana sudah tampil berbicara dengan melaporkan langsung dari Italia maupun saat duduk di studio.

Rayana mampu menjelaskan sepak bola dari dalam stadion hingga ke luar stadion. Ketika dia berbicara misalnya tentang Parma, dia tidak saja berbicara tentang Faustino Asprilla atau Thomas Brolin tetapi dia akan bicara tentang kota Parma dan juga Parmalat, perusahaan susu, sponsor utama Parma yang membuat Parma amat hebat waktu itu.

Lalu saat dia berbicara tentang Fiorentina, dia tidak saja akan berbicara tentang Gabriel Omar Batitusta, Rui Costa tetapi juga menyinggung Firenze sebuah kota kecil yang tidak pernah takut bahkan membenci orang-orang Turin karena rivalitasnya dengan Juventus.

Apa yang saya maksudkan? Rayana Djakasurya dibantu Andi Darusallam, akan membuat kita merasa bahwa waktu 90 menit ditambah dengan preview sekitar 30 menit tidaklah cukup untuk membicarakan hal lain di luar bola itu sendiri.

Rayana mampu membuat tontonan sepak bola bukan saja menjadi menarik karena penampilan di atas lapangan hijau, tetapi juga para penonton di layar televisi  disadari atau tidak disadari telah diedukasi dengan baik, karena mendapat informasi lain yang menarik selain permainan di atas lapangan.

Dari konteks inilah, saya berharap ada evaluasi untuk mendudukan persoalan komentator yang melecehkan perempuan saat tayangan bola sedang berlangsung.

Komentator bola tidak cukup hanya menjadi seorang penghibur dengan kemampuan verbal yang mumpuni, tetapi juga memiliki pengatahuan yang cukup tentang tim yang bertaning, data statistik hingga pengetahuan soal di luar lapangan.

Jika kapabilitas ini dipunyai, maka kecenderungan untuk memikirkan atau membicarakan hal lain di luar sepak bola juga akan semakin mudah dihindari.

Sebenarnya tidak ada salahnya seorang komentator memiliki ciri khas sendiri, seperti Valentino Simanjuntak dengan "jebret" atau ada yang ingin berpantun, namun ingat agar jangan sampai keluar dari koridor sepak bola apalagi melanggar etika kesopanan.

Saya pikir Valentino sudah cukup menunjukan itu dengan baik, meski masih dianggap sedikit lebay oleh beberapa pihak.

Menurut saya, ciri khas itu bukanlah sesuatu yang primer. Sebenarnya jika kita menonton komentator berkelas dunia seperti Martin Tyler ataupun Andy Gray hal itu dapat terlihat dengan jelas.

Saat pertandingan berlangsung, ketika pertandingan nampak datar, diskusi yang dipandu mereka menjadi menarik untuk didengarkan, karena ada pengetahuan atau sudut pandang yang baru dan semuanya soal sepak bola, meski juga memang ditunjang oleh kemampuan verbal mereka.

Artinya, prasyarat utama bagi seorang komentator adalaha jangan pernah keluar dari konteks bola itu sediri, jika tidak bisa dikontrol maka akan amat berbahaya dan menjadi blunder bagi dirinya sendiri.

Salah satunya adalah yang terjadi kepada Ron Atkinson, komentator lawas asal Inggris yang sempat bersikap rasialis saat mengomentari Marcel Desailly dalam laga Monaco melawan Chelsea di laga semifinal Liga Champions 2004. 

Akibat kasus tersebut, karir Ron Atkinson sebagai komentator pun berakhir setelah diblack list dan diputus kontrak oleh stasiun televisi yang mempekerjakannya.

Di dalam negeri, beberapa komentator handal seperti Bung Kusnaeni atau Yusuf Kurniawan juga tak tampak memaksakan diri dengan menjadi penghibur dengan ciri khas tertentu.

Keduanya bermodalkan pengetahuan sepak bola yang luas, sehingga tidak akan kehabisan bahan untuk mengomentari jalannya pertandingan.

Kecenderungan untuk memaksakan agar menghibur atau menunjukan ciri khas tertentu terkadang akan menjadi bumerang sendiri  jika tidak bisa dikontrol.

Saya dan pecinta bola pasti berharap pelecehan peremuan di sepak bola ini adalah kejadian terakhir. Tidak boleh ada lagi pelecehan perempuan di sepak bola, kita berharap hal itu dapat dimulai dengan penunjukan komentator bola yang berkualitas seperti Rayana Djakasurya, Kusnaini dan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun