Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Merindukan Komentator Bola Zaman Rayana Djakasurya

9 Maret 2020   22:33 Diperbarui: 10 Maret 2020   10:17 4758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rayana mampu menjelaskan sepak bola dari dalam stadion hingga ke luar stadion. Ketika dia berbicara misalnya tentang Parma, dia tidak saja berbicara tentang Faustino Asprilla atau Thomas Brolin tetapi dia akan bicara tentang kota Parma dan juga Parmalat, perusahaan susu, sponsor utama Parma yang membuat Parma amat hebat waktu itu.

Lalu saat dia berbicara tentang Fiorentina, dia tidak saja akan berbicara tentang Gabriel Omar Batitusta, Rui Costa tetapi juga menyinggung Firenze sebuah kota kecil yang tidak pernah takut bahkan membenci orang-orang Turin karena rivalitasnya dengan Juventus.

Apa yang saya maksudkan? Rayana Djakasurya dibantu Andi Darusallam, akan membuat kita merasa bahwa waktu 90 menit ditambah dengan preview sekitar 30 menit tidaklah cukup untuk membicarakan hal lain di luar bola itu sendiri.

Rayana mampu membuat tontonan sepak bola bukan saja menjadi menarik karena penampilan di atas lapangan hijau, tetapi juga para penonton di layar televisi  disadari atau tidak disadari telah diedukasi dengan baik, karena mendapat informasi lain yang menarik selain permainan di atas lapangan.

Dari konteks inilah, saya berharap ada evaluasi untuk mendudukan persoalan komentator yang melecehkan perempuan saat tayangan bola sedang berlangsung.

Komentator bola tidak cukup hanya menjadi seorang penghibur dengan kemampuan verbal yang mumpuni, tetapi juga memiliki pengatahuan yang cukup tentang tim yang bertaning, data statistik hingga pengetahuan soal di luar lapangan.

Jika kapabilitas ini dipunyai, maka kecenderungan untuk memikirkan atau membicarakan hal lain di luar sepak bola juga akan semakin mudah dihindari.

Sebenarnya tidak ada salahnya seorang komentator memiliki ciri khas sendiri, seperti Valentino Simanjuntak dengan "jebret" atau ada yang ingin berpantun, namun ingat agar jangan sampai keluar dari koridor sepak bola apalagi melanggar etika kesopanan.

Saya pikir Valentino sudah cukup menunjukan itu dengan baik, meski masih dianggap sedikit lebay oleh beberapa pihak.

Menurut saya, ciri khas itu bukanlah sesuatu yang primer. Sebenarnya jika kita menonton komentator berkelas dunia seperti Martin Tyler ataupun Andy Gray hal itu dapat terlihat dengan jelas.

Saat pertandingan berlangsung, ketika pertandingan nampak datar, diskusi yang dipandu mereka menjadi menarik untuk didengarkan, karena ada pengetahuan atau sudut pandang yang baru dan semuanya soal sepak bola, meski juga memang ditunjang oleh kemampuan verbal mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun