Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Memalukan, Dewas TVRI Terbukti Melanggar Aturan, Pemecatan Helmy Yahya Bisa Dianulir?

26 Februari 2020   20:54 Diperbarui: 27 Februari 2020   07:02 2226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Direktur Utama LPP TVRI nonaktif Helmy Yahya (kanan) didampingi kuasa hukum Chandra Hamzah (tengah) menyampaikan pembelaan terkait pemberhentian dirinya oleh Dewan Pengawas LPP TVRI saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Helmy Yahya menyampaikan sejumlah poin pembelaan terkait pemberhentiannya dari Dirut LPP TVRI dan akan menempuh jalur hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.(Indrianto Eko Suwarso)

Setelah sekian lama, sengkarut masalah antara Dewan Pengawas (Dewas)  TVRI dengan mantan Dirut TVRI, Helmy Yahya menemui titik terang, khususnya untuk melihat permasalahan pemecatan Helmy dengan lebih obyektif.

Hari ini (26/2/2020), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pihak yang dipercaya oleh DPR melakukan audit kinerja di TVRI telah menyerahkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) kinerja Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI ke DPR RI selama periode kinerja 2017-2019.

Hasilnya mengejutkan, Dewas TVRI yang terlihat superior dan merasa diri benar dalam kasus pemecatan Helmy Yahya, ternyata melakukan berbagai pelanggaran yang berkaitan erat dengan kinerjanya di TVRI.

Ada enam temuan berkaitan dengan Dewas yang disampaikan oleh Anggota BPK Achsanul Qosasi. Dari enam temuan tersebut ada beberapa temuan yang memang secara signifikan dapat dianggap sebagai pelanggaran dan berhubungan langsung dengan pemecatan Helmy Yahya. Beberapa temuan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, soal Dewas yang mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi. Dalam syarat pemberhentian sesuai Pasal 24 ayat (4) dikatakan bahwa Direksi diberhentikan jikalau tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewas.

Akan tetapi, Dewas ternyata terbukti telah menambahkan syarat pemberhentian Dewan Direksi melalui hasil penilaian kinerja (tidak memuaskan/tidak lulus), penilaian yang menurut BPK nampak sangat subjektif atau tidak memiliki rumusan yang jelas dalam pelaksanaannya.  

Hal ini menjadi lebih membingungkan karena Dewas juga telah menambahkan 10 indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen.

Kedua, ternyata  Dewas LPP TVRI yang menurut regulasi adalah pejabat non-eselon  telah menafsirkan posisinya  sendiri sebagai  Pejabat Negara setingkat Menteri, Ketua/Anggota KPK dan BPK.

Akibatnya, berimbas langsung kepada peningkatan kesejahteraan kelompok mereka, karena selain mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp5 juta/bulan sesuai Perpres No.73/2008 dan Perpres No.101/2017, Dewas juga diharuskan menggunakan kendaraan dinas setara eselon I dan tiket penerbangan kelas bisnis. Wow.

Berikutnya,  Dewas LPP TVRI ternyata "berani" menambahkan ketentuan yang tidak diatur dalam PP 13/2005 dengan membuat Keputusan Dewas LPP TVRI nomor 2 Tahun 2018.

Salah satunya dengan  mengangkat tenaga ahli dan/atau membentuk komite untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Dewas. 

Selain itu, Dewas ikut menetapkan besaran gaji dan tunjangan bagi Dewan Direksi, padahal penghasilan Dewan Direksi LPP TVRI ditetapkan dengan Surat Menteri Keuangan Nomor 566/MK.02/2017.

Terakhir, adalah soal  Keputusan Dewas LPP TVRI No.2/2018 Pasal 46 ayat (8) "Anggota Dewan Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila tidak dapat memenuhi kontrak manajemen", kebijakan Dewas ini tentu saja berlawanan dengan syarat pemberhentian Dewan Direksi yang sesuai hanya dapat diberhentikan jika tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewan Direksi.

Temuan pelanggaran-pelanggaran ini  yang jika diperhatikan memang amat signifikan berpengaruh kepada peran Dewas yang semakin diperkuat dan cenderung demi untuk memenuhi kepentingan kelompok sendiri, dan juga membuat Dewas nampak dengan mudah memecat direksi yang tidak sesuai keinginan mereka.

***

Jika diperhatikan pelanggaran-pelanggaran ini, maka publik mungkin akan bertanya apakah pemecatan Helmy Yahya akan dianulir? 

Hal ini mungkin perlu dikembalikan lagi untuk dilihat dari sisi aturan. Jika ada kebijakan yang bertentangan dengan regulasi yang ada dan hal itu berkaitan dengan pemecatan Helmy, maka hal anulir keputusan Dewas bisa saja dilakukan.

Apalagi, Komisi I DPR memang sudah meminta agar proses seleksi Dirut baru pengganti Helmy diberhentikan untuk sementara. 

Harapan DPR adalah proses seleksi hanya bisa dilanjutkan ketika persoalan antara Dewas dan Helmy sudah terang benderang ditemukan akar persoalannya.

Dari pemaparan BPK, maka DPR dapat mengambil sikap tegas sesudahnya. 

Kita tunggu saja, bagaimana sikap dan rekomendasi DPR sesudah hasil audit dari BPK ini. Yang pasti, Dewas akan berpikir keras untuk memberikan jawab terhadap hasil temuan dari BPK ini. Situasi berbalik, Dewas tersudutkan, dan pihak Helmy pasti sumringah mendengar hasil temuan ini.

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun