Salah satu lelucon yang menggelitik dan beredar di Medsos sesudah Presiden Jokowi memastikan bahwa Ibu kota baru akan dibangun di Kalimantan Timur adalah proyeksi perbincangan anak muda 10-15 tahun ke depan.Â
Anak Kaltim : "Eh Tinggal dimana coy.."
Anak Jakarta : " Jakarta om..."
Anak Kaltim : "Oh...anak daerah...
Anak Jakarta " "Iya..." (Sambil garuk-garuk kepala)
Meskipun lelucon, tetapi bisa saja terjadi. Lagian selama ini, label "anak Jakarta" , " anak Ibu Kota" memang lebih keren kan.
Lelucon ini berpindah ke pertanyaan lain yang sedikit lebih serius? Apakah Jakarta memang akan kehilangan status sebagai Daerah Khusus? Jawabannya ya dan pasti.
Adalah Kementerian Dalam Negeri yang memastikan hal tersebut. Melalui Plt Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik dikatakan bahwa  status Daerah Khusus ibu kota akan lekas dicabut dari Jakarta setelah ibu kota resmi dipindah ke Kalimantan Timur kelak.
"Ya tidak, bukan DKI lagi, mungkin daerah khusus mantan ibu kota, bisa jadi hehehe. Bisa jadi daerah khusus untuk pertumbuhan ekonomi bisa jadi, pusat bisnis bisa jadi," kata Akmal di Kantor Kemendagri, Selasa (27/8).
Daerah Khusus Mantan Ibu Kota? Ada kata mantan..gimana kaleee....
Pertanyaan berikut yang mungkin belum banyak diketahui oleh publik adalah, ketika Daerah Khusus Ibu Kota alias DKI itu melekat ke Jakarta, keistimewaan apa yang didapat?Â
Oke, mari kita sedikit membahas dari landasan hukumnya. Landasan hukum ibu kota Indonesia tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah UU 29/2007.
Nah, di landasan ini diatur tentang kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilabeli daerah khusus. Kurang lebih ada tujuh hal yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta.
Pertama, Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
Ketiga, Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
Keempat, Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi.
Kelima, Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Keenam, Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.
Ketujuh, Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.
Nah, ada beberapa turunan dari pasal-pasal ini yang menarik untuk disimak. Misalnya, terkait dengan pemilihan kepala daerah.
Jika daerah lain yang dipilih sebagai kepala daerah--gubernur, bupati, maupun walikota--adalah calon yang mendapat suara paling tidak 30 persen dari suara masuk, maka di DKI jumlahya mesti lebih dari 50 persen.
Dalam UU, dijelaskan peraturan ini mesti diterapkan karena Gubernur-Wakil Gubernur terpilih "perlu memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat." Anies Baswedan, Gubernur DKI sekarang, memperoleh suara hampir 58 persen pada Pilgub 2017.
Berikutnya soal dana. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta itu besar, APBD 2019 mencapai 89 triliun. Pantas saja karena roda perekonomian bergerak terus dan cepat.
Nah, isunya APBD Jakarta juga akan berkurang ketika tidak lagi menjadi ibu kota karena pindahnya beberapa simpul seperti kegiatan pemerintahan termasuk perpindahan jumlah pegawai. Nilainya menurut beberapa pengamat lumayanlah sekitar 9 triliun.
Soal dana APBN alias bantuan pemerintah pusat, Jakarta istimewa karena khusus. Pada  2017 saja mencapai hampir 19 triliun. Skema saat Anies menjadi pembangunan Jakarta melalui konsep urban regeneration, nilainya hingga 571 triliun dengan bantuan dana pusat dalam jangka panjang, rencananya hingga 2030.
Inilah yang membuat Gubernur Anies Baswedan akan berpikir keras dan sedikit kuatir, apakah program ini akan terus berjalan ketika pemerintah mulai fokus memindahkan ibu kota ke Kaltim.
Jika tidak lagi menjadi ibu kota, hak-hak dan kekhusan ini akan hilang.
Kembali ke Daerah Khusus Mantan Ibu Kota. Jika kehilangan kata "Mantan Ibu Kota" Â apakah daerah khusus saja masih bisa?
Akmal Malik menyatakan bahwa meski tidak lagi DKI, Â Jakarta tetap berpeluang menjadi daerah otonomi khusus. Â Hanya pemberian status daerah otonomi khusus kepada Jakarta akan diatur dalam undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah.
Ya, masih keren lah.
"Eh tinggal dimana coy..?"
"Jakarta.."
"Oh..mantan Ibu kota yang sekarang jadi Otsus itu ya?"
"Yoi.."
Sumber :Â 1Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H