Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan featured

Makna "Bukan Salah Jakarta" Jokowi dalam Pindahnya Ibu Kota ke Kaltim

27 Agustus 2019   07:57 Diperbarui: 23 Juni 2022   06:34 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.(ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

"Ini bukan salah Pemprov Jakarta tapi beban yang diberikan ke Jakarta," ujar Jokowi.

Jokowi membuat sejarah. Sebagai Presiden, Jokowi berani mengambil keputusan besar dengan memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Padahal wacana ini sudah sempat dikatakan oleh beberapa Presiden sebelumnya seperti Presiden pertama RI, Sukarno yang telah menyebut Palangkaraya di Kalimantan Tengah sebagai tempat ideal ibu kota Indonesia yang baru.

Selanjutnya, Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, Presiden Soeharto juga mewacanakan pemindahan ibu kota ke kawasan Jonggol, Jawa Barat. Lalu, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah ingin memperluas wilayah ibu kota hingga Sukabumi dan Cianjur. 

Namun semua rencana pemindahan tersebut tidak pernah terealisasikan.

Salah satu alasan utama perpindahan ini karena beban Jakarta yang sudah begitu berat.

Jokowi, lantas mengatakan bahwa besarnya beban Jakarta tersebut bukanlah salah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta harus menopang beban yang semakin berat, sehingga satu-satunya jalan yang mungkin ditempuh adalah memindahkan ibu kota.

Menariknya, Jokowi mengatakan bahwa ini bukan kesalahan Pemrov Jakarta.

"Ini bukan salah Pemprov Jakarta tapi beban yang diberikan ke Jakarta," ujar Jokowi.

Apa makna di balik pernyataan "bukan salah Pemrov Jakarta" ini?

Untuk memahaminya, kita dapat melihat dalam dua illustrasi. Pertama, mengillustrasikan seperti sedang mengunjungi orang yang sedang sakit sekarat dan kita mengatakan bahwa ini karena keadaan dan bukan karena kesalahan si orang tersebut.

Jakarta memang "sakit parah" atau sekarat. Beban Jakarta yang dimaksud adalah beban kemacetan, beban polusi, beban kepadatan penduduk, dan beban lainnya. Oleh karena itu, Jokowi berpikir Jakarta perlu dibantu.

"Kenapa urgent sekarang? Kita tidak bisa terus-menerus beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat dalam hal kependudukan, kemacetan parah, polusi, dan air yang semakin buruk," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019).

Coba kita lihat detailnya, misalkan kepadatan penduduk. Ketika Djarot Saiful Hidayat menjadi gubernur pada 2017, Djarot mengatakan bahwa kepadatan penduduk DKI Jakarta telah melebihi batas ideal.

Menurut Djarot penduduk Jakarta Idealnya berjumlah 7,5 juta jiwa. "Sekarang sudah 10,2 juta jiwa. Itu kalau malam hari. Kalau siang hari bisa sampai 14,5 juta jiwa. Kita itungnya harus yg siang, bukan malam," kata Djarot .

Dalam kajian Bapennas juga menegaskan hal tersebut. Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 15 ribu jiwa per km2, Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta telah menjadi wilayah terpadat di seluruh Indonesia.

Kepadatan Jakarta ini adalah 100 kali lipat dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk Indonesia secara nasional hanya 134 jiwa per km2.

Ini juga sekaligus menunjukkan tingkat penyebaran penduduk yang sangat tidak merata di wilayah Indonesia. Salah satu yang menjadi alasan utama pemindahan ibu kota ke Jakarta. Sebagai informasi dua daerah yang tingkat penyebarannya paling sedikit adalah Kalimantan dan Papua.

Berikutnya, dilansir dari CNN pada awal tahun 2019, Jakarta duduk di urutan keempat sebagai kota termacet di dunia. "Kemacetan itu berdampak pada gerak pemerintahan dan ekonomi," Seperti yang dikatakan oleh Bambang Brodjonegoro.

"Kerugian perekonomian dari kemacetan ini data tahun 2013 ini Rp 65 triliun per tahun dan sekarang angkanya mendekati Rp 100 triliun dengan semakin beratnya kemacetan di wilayah DKI Jakarta," ujar Bambang dalam paparannya saat Rapat Terbatas (Ratas) bersama Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019).

Soal terakhir adalah banjir, masalah Banjir di Jakarta memang kompleks , tidak hanya banjir yang berasal dari Hulu saja tapi juga penurunan tanah di Pantai Utara dan kenaikan permukaan air laut.

50 persen wilayah Jakarta itu kategorinya rawan banjir atau memiliki tingkat di bawah 10 tahunan, padahal idealnya kota besar keamanan banjirnya minimum 50 tahunan.

Untuk alasan-alasan ini, Ibu Kota memang sebaiknya pindah.

Kedua, makna "bukan salah Pemprov Jakarta" seperti gambaran seseorang yang ingin meninggalkan sang pacar dan mengatakan bahwa bukan salah si pacar. Sekedar Menghibur.

Untuk ini, Jokowi "menghibur" dengan mengatakan bahwa Jakarta akan tetap menjadi kota yang diprioritaskan dalam hal pembangunan. Jokowi memastikan n Jakarta akan terus dikembangkan sebagai pusat bisnis, meski tidak menjadi ibu kota negara lagi.

"Jakarta akan tetap menjadi prioritas pembangunan dan akan terus dikembangkan sebagai pusat bisnis berskala regional dan global," tulis Jokowi.

Dari "bukan salahnya Jakarta ini" Jokowi mengumumkan bahwa Kaltim adalah daerah terbaik untuk memulai sesuatu yang baru untuk kebaikan bersama, dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur yang terpilih sesudah berbagai kajian.

"Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di bagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8)

Saya termasuk yang yakin dari pemaparan Jokowi, ini adalah keputusan terbaik. Keputusan yang besar. Kajian-kajian meski belum lengkap, tetapi akan terus disempurnakan. 

Keputusan berani yang saya pikir tidak ada tendensi yang berbeda selain untuk pemerataan pembangunan di Indonesia, salah satu yang rasanya amat sulit dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Sumber : 1 - 2 - 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun