Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Baju Sasak NTB, Fahri Hamzah Perlu Belajar dari Jokowi

16 Agustus 2019   17:15 Diperbarui: 16 Agustus 2019   17:14 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi Berbusana Suku Sasak di SIdang Tahunan MPR I Gambar : Tribun

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, tetapi bukan alasan bagi kita untuk saling menghancurkan. Jika perbedaan itu kita kelola dalam satu visi besar. Maka menjadi kekuatan untuk mencapai Indonesia Maju. - Jokowi

Politisi dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tak ada hujan tak ada angin berkomentar tentang busana khas Suku Sasak, Lombok, NTB  yang dikenakan oleh Jokowi ketika sidang bersama DPD-DPR berlangsung.

Melihat busana Jokowi, Fahri lantas menyinggung kekalahan Jokowi di NTB. Menurutnya, Jokowi telah berlaku seimbang karena mengenakan dua pakaian adat tersebut.

"Karena waktu itu kan mengingatkan Pak Jokowi kan waktu itu di Bali dia bilang pakai (baju) adat bali karena menang di Bali," kata Fahri.

"Sekarang karena kalah di NTB. Baguslah, balance, ha-ha-ha...," ucap Fahri.

"Saya berterima kasih," kata Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Istana langsung merespons melalui Deputi Komuniksi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP), Eko Sulistyo. Pihak Istana Kepresidenan menyatakan makna busana itu tak terbatas tentang politik pemilu itu saja.

"Fahri selalu melihat itu dalam konteks politik, dan yang terjadi sudah merupakan fakta bahwa Pak Jokowi tidak menang di NTB. Ini tidak diingkari," kata Eko, memulai penjelasannya.

Eko lantas menjelaskan bahwa pilihan Jokowi untuk mengenakan busana adat bukan dimulai tahun ini saja. Dua tahun lalu, Jokowi bahkan mengundang presiden-presiden tedahulu untuk berbusana adat saat datang ke Istana Merdeka, Jakarta.

"Yang perlu diingat, Pak Jokowi menggunakan pakaian adat dalam peristiwa-peristiwa penting, konteksnya bahwa tujuan Presiden itu bukan untuk politik pasca-Pilpres itu saja," kata Eko

Jokowi juga dikatakan Eko mengenakan busana dari daerah asal Fahri Hamzah karena ingin menunjukkan visi pembangunan yang Indonesia sentris. Jokowi ingin menunjukkan kekayaan budaya Indonesia.

"Ini juga diplomasi budaya, karena pidato ini juga disorot dunia. Presiden cukup jeli, Jadi kalau melihat rentetannya, ini memang bukan simbolisasi pasca-Pemilu saja," kata Eko.

Sebagai tokoh politik sah-sah saja, Fahri Hamzah berpendapat demikian, akan tetapi menurut saya dalam semangat rekonsiliasi dan persatuan menyambut HUT Kemerdekaan RI, komentar Fahri terdengar bising di telinga atau tidak tepat.

Kata-kata di Sidang Tahunan tersebut yang diucapJokowi yang menyinggung tentang Pancasila, persatuan dan bersama-sama membangun bangsa, sepertinya sulit sekali dimengerti oleh Fahri dan melihat ini dari sisi politik semata, yang bisa ditafsirkan secara beragam. 

Fahri nampaknya perlu belajar dari Jokowi.

Setuju bahwa Jokowi memang sedang melakukan diplomasi budaya,  dan agak terlalu belebihan menganggap acara kenegaraan di Sidang Tahunan MPR ini disamakan dengan pakaian adat yang dikenakan oleh Jokowi di acara Kongres PDIP yang memang diselenggarakan di Bali.

Dalam sidang tersebut, Jokowi mengatakan perbedaan adalah sebuah keniscayaan, tetapi bukan alasan bagi kita untuk saling menghancurkan. Jika perbedaan itu kita kelola dalam satu visi besar. Maka menjadi kekuatan untuk mencapai Indonesia Maju.

Sebagai anggota DPR, Fahri mestinya menyambut  keinginan luhur  Jokowi untuk melakukan itu, tanpa menghubungkan dan mundur ke belakang dengan kondisi waktu persaingan di Pilpres kemarin. 

Fahri perlu belajar untuk dapat melakukan tindakan nyata sehingga politik identitas yang dosisnya meninggi pada Pilpres kemarin semakin berkurang demi kebaikan bangsa. Penggunaan politik identitas dalam hajatan elektoral kita dapat dianggap salah satu penyebab cederanya ranrai persatuan.

Menganggap ada pengotak-kotakan sesudah pilpres dengan menilai sesuatu dari kacamata politik identitas akan membuat narasi emosionalitas yang dibalut dengan SARA akan terpelihara terus dan membuat narasi rasionalitas menjadi terpenjara. 

Kondisi ini tentu tidak kita inginkan sebagai bangsa, jika ingin maju bersama.

Dalam semangat rekonsiliasi, sudah saatnya elit politik seperti Fahri untuk membangun konsensus nasional untuk mengurangi semaksimal mungkin penggunaan politik identitas lagi dalam komunikasi publik.

Jika ini terus berlangsung, tenun-tenun kebangsaan kita yang dijahit dengan benang-benang keberagaman dan kemajemukan yang dicoba untuk disatukan kembali oleh Jokowi akan dikoyak kembali karena perspektif sempit dari beberapa politisi kita.

Sumber : 1 -2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun