Prabowo bersama Gerindra mendekat ke Jokowi, membuat kebingungan dalam perpolitikan nasional kita. Sedangkan PDIP membuka hati mereka untuk Gerindra,akibatnya "teman" sendiri mulai menjaga jarak.
Teater politik ala Gerindra dan PDIP sedang dimainkan, perlu kejelian untuk membaca narasi yagn sedang dimainkan mereka. Para penonton ada yang hanya bisa terdiam menunggu, ada juga yang sudah mulai bereaksi, meski sangat berhati-hati.
Pengamat Politik, Burhanudin Muhtadi dalam bukunya "Populisme Politik Identitas & Dinamika Elektoral" menuliskan seperti ini.
Leksikon ilmu politik, perilaku (elit) partai dalam berkoalisi dapat dijelaskan dalam dua model demokrasi. Pertama, model Madisonian atau demokrasi elitis yang menitikberatkan pada asumsi klasik Joseph Schumpeter (1943:269) bahwa "pemilih hanya berguna pada saat Pemilu untuk bisa membentuk pemerintahan" Wiliam Riker, yang berasal dari tradisi intelektual yang sama, menyatakan, "the function of voting isi to control officials, and no more (1982:9).
Model kedua adalah demokrasi populis. Perilaku partai harus memiliki tautan elektroral dengan basis sosial dan ideology partai. Inilah sumber referensi koalisi berbasis ideology (ideoligicaly-conneceted coalition) seperti ditahbiskan de Swaan (1973). Dalam konteks ini meraih kekuasaan di pemerintahan bukan tujuan utamanya.
Kedua model ini dapat dipakai untuk memahami kondisi politik sekarang yang mana pola pembentukan koalisi pasca reformasi hingga sekarang menunjukan menjurus kecenderungan pertama, atau model elitis.
Artinya, ideologi partai bukan faktor determinan dalam pembentukan koalisi. Hampir tak ada rambu-rambu apapun dalam menjalin koalisi. Bahkan, menang atau kalah dalam Pemilu bukan batas pemisah dalam menjalin koalisi.
Inilah yang kita saksikan sekarang. Kita terkadang kebingungan dan serasa dibohong berbalutkan kalimat politik itu cair bahkan amat cari. Padahal seperti teater yang dimainkan terkadang tak tampak seninya malahan ditambah dengan bumbu akal-akalan untuk menutupi syahwat kekuasaan yang meledak-ledak.
PKS yang merasa sehidup semati dengan Gerindra tak pernah mengira bahwa akan ditinggalkan dengan cara seperti ini. PKS dan kelompoknya mungkin tak pernah mengira bahwa reputasi politik Prabowo bersama Gerindra dianggap jatuh rendah karena manuver politik dengan mulai bergerak mendekat ke pemerintahan.
Panggung dikuasai oleh PDIP dan Gerindra dengan Lobi yang dimainkan, tawar menawar, dan kompromi menjadi menu utama yang bisa mempertemukan mereka berduak dan beberapa elit politik, meski pada masa kampanye pernah saling mencaci bahkan membenci.
Perhatikan bahwa dua poros yang berbeda tajam mulai bergerak untuk membentuk hanya sebuah poros dengan beberapa drama yang dimainkan.
Narasi poros Teuku Umar dan Kertanegara semakin menguat, dan rekan-rekan yang pernah bersama berjuang masih harus tinggal diam tanpa bicara, karena mungkin masih bingung menentukan langkah politik ke depan.
Para penonton teater ini terbagi akan dua. Pertama, kelompok yang memang harus benar-benar tetap duduk hingga dipersilahkan berdiri dan bergabung dalam narasi drama yang sedang dimainkan. Kelompok ini terpaksa harus melakukan ini karena tidak memiliki kekuatan gravitasi elektoral yang kuat.
Minimnya kekuatan tersebut, membuat tidak ada insentif yang berani ditawarkan oleh kelompok ini sebagai harga tawar yang kuat demi mempengaruhi keputusan para aktor tersebut yagn sedang asyik masyuk dalam akting mereka. Â
Kelompok kedua adalah kelompok yang merasa memiliki jasa cukup besar dan berharap dapat dilibatkan secara aktif ke dalam pergerakan politik di panggung teater. Menurut mereka panggun masih amat luas bagi mereka. Persoalannya, ketika panggung memang tidak begitu luas, maka akan timbul pertunjukan kekuatan elektoral dari kelompok ini yang lambat laun akan mengancam.
Mengancam bagi para aktor yagn sedang bermain, atau juga mengancam diri mereka sendiri.
Kelompok pertama bisa disebut PKS dan PAN, sedangkan kelomok kedua ada Nasdem, Demokrat dan bisa saja dihitung PKB disana.
Sampai sekarang bagaimana nasib nanti para kelompok ini dalam teater yagn sedang dimainkan Gerindra dan PDIP belum jelas nasibnya. Teater ini membuat belum ada yang tegas dalam politik untuk mendefinisikan siapa yang "bakal berada di dalam" (the ins) dan "yang di luar" (the outs).
Artinya peta koalisi amat rentan untuk berubah, membuktikan sekali lagi bahwa kelakuan partai politik kita tidak selinier seperti yagn kita bayangkan sebelumnya. Nafsu politisi untuk selalu berada di garbing kekuasaan sekali lagi dapat membuktikan bahwa teater ini terkadang tidak berpola,
Ke depannya, hampir dapat dipastikan untuk mengamankan kekuasaan, parlemen maka barter posisi akan terjadi bagi kelompok mana saja, perlu kejelian untuk membaca bagaimana kelanjutan teater ini dimainkan oleh Gerindra dan PDIP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H