Salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi Jokowi-Ma'ruf saat ini adalah menyiapkan skema politik yang tepat berkaitan dengan koalisi di dalam pemerintahan ke depan.
Ada 3 paket koalisi yang bisa dipertimbangkan oleh Jokowi. Pertama, koalisi mini (minority coalition), koalisi ramping (minimal winning coalition) dan koalisi maksi (overzised coalition). Koalisi mini nampaknya tidak diambil Jokowi karena postur sekarang nampaknya sudah cukup besar. Apalagi koalisi mini berisiko karena terlalu kecil untuk mendukung pemerintahan di parlemen.
Koalisi paling ideal adalah koalisi ramping tapi sehat. Postur koalisi tidak terlalu besar, tetapi secara matematis mampu mengunci kebijakan pemerintahan di parlemen. Jika disiplin dari koalisi ramping ini dipertahankan, maka dipercaya dapat menyokong pemerintahan secara efektif.
Koalisi ramping juga membuat ruang untuk dibentuknya kabinet ahli menjadi lebih terbuka luas dengan transaksi yang terjadi tidak terlalu berlebihan kepada menteri-menteri dari partai yang tak punya kompetensi.
Saat ini koalisi Jokowi yang disebut Koalisi Indonesia Kerja sebenarnya sudah cukup ramping dan kuat dengan 349 kursi atau 60,7 persen suara di Parlemen. Hitung-hitungan ini, tentu akan bertambah menjadi lebih dari 70 persen jika PAN dan Demokrat yang santer diberitakan akan ikut merapat. Sebagai informasi, Demokrat mendapatkan 7,77 persen suara, sedangkan PAN mendapatkan 6,84 persen suara.
Akan tetapi isu yang tak kalah kuat dengan rencana ikut bergabungnya Gerindra membuat koalisi pemerintah akan segera berubah menjadi koalisi maksi. Artinya jika tambahan 12,57 persen dari Gerindra terjadi, maka koalisi pemerintah akan menjadi 80-an persen.
Koalisi maksi adalah koalisi yang kegemukan atau obesitas dan terbukti tidak efektif seperti pengalaman SBY jilid dua yang didukung oleh 75 persen kekuatan politik di parlemen.
Koalisi yang kegemukan dan sulit bergerak membuat  terkesan lamban dalam gerak komunikasi maupun aplikasi. Selain tentunya, mimpi terbentuknya zaken kabinet, hanya akan berada dalam tataran mimpi.
Selain itu jika koalisi maksi yang menjadi pilihan, harga sosial politiknya menjadi terlalu mahal. Pasca putusan sidang MK, aroma itu sudah tercium, meski belum menyengat. Pemerintah akan tersandera secara politis dan tercipta "kecemburuan" kepada aktor yang  tak berkeringat dalam Pilpres lalu.
Jika jadi bergabung, Gerindra, Demokrat maupun PAN akan dianggap sebagai bagian yang ikut menghisap madu pemerintahan meski, tidak berkontribusi apa-apa, bahkan menjadi lawan politik pada perhelatan pemilu yang lalu.
Partai NasDem termasuk yang gencar bersuara soal ini meski dibungkus dengan rapi, tanpa aroma kecemburuan yang menyengat. Melalui politikusnya, Taifuqhaldi, NasDem menyatakan akan khawatir bahwa kehadiran partai-partai pendukung Prabowo Subianto ini dinilai justru akan membelah kabinet.
"Saya khawatir semua di dalam kabinet ada pembelahan dalam kabinet. Itu yang kami khawatirkan. Menurut saya, itu nggak baik" kata Taufiqhaldi dalam diskusi di Gado-gado Boplo, Cikini, Jakarta, Sabtu (29/6/2019).
Selain Taufiqhaldi suara tentang akan bergabungnya partai pro Prabowo ke Koalisi pemerintah juga disuarakan oleh anggota TKN Jokowi-Ma'ruf, Daniel Johan.
Daniel melihat ada minus dari bergabungnya Gerindra ke Jokowi, yaitu dinamika dalam proses demokrasi dalam 5 tahun ke depan akan amat minim terjadi. Â Selain itu, Gerindra sebagai motor oposisi selama ini membuat tidak ada pengawasan, check and balance terhadap jalannya pemerintahan.
Alasan-alasan yang terkesan formal ini sebenarnya menutup kekuatiran yang lebih besar jika membayangkan bagaimana Gerindra dan Demokrat yang "dominan" dan vokal masuk ke dalam koalisi yang selama ini sudah dipenuhi oleh PDI-P, Golkar dan NasDem sebagai mesin penggerak.
Motor memerlukan roda, bagaimana jika semua mau menjadi mesin, tanpa ada yang mau jadi roda? Gesekan-gesekan akan terjadi, hitung-hitungan untung rugi akan menjadi warna negatif dan kecemburuan akan menyeruak di antara partai.
Jika kita melihat bagaimana Megawati, Surya Paloh dan Airlangga Hartarto bergerak harmonis melalui partai mendukung Jokowi, maka akan menjadi tanda tanya besar, bagaimana jika Prabowo, SBY bahkan Amien Rais terlibat bersama. Apa jadinya nanti?
Artinya, Jokowi menjadi berpikir keras dan rumit dalam mendesain bagi-bagi kekuasaan dalam pemerintahan ke depan. Apalagi  para partai yang bergabung dengan Jokowi, sudah mulai mencuri start dan tidak malu-malu untuk menyuarakan keinginannya sebagai jatah politik, sebelum disalip oleh partai lain.
Perlu pertimbangan matematis politik yang jeli dan akurat untuk menentukan pola desain koalisi yang tepat. Jika tidak, Â niscaya instabilitas dan kegaduhan politik akan rentan terjadi dan berisiko tinggi bagi pemerintahan Jokowi ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H