Acara talkshow Rosi di KompasTV malam tadi mengusung tema menarik dan aktual, "Di balik Aksi 22 Mei". Di acara yang dipandu Rosianna Silalahi ini turut hadir koordinator Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) atau Korlap Aksi 22 Mei, Jumhur Hidayat.
Di ranah politik Tanah Air, Jumhur bukan orang baru. Jumhur pernah menjadi  Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (BNP2TKI)  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa. Bukan rahasia lagi aktivis itu memiliki peran cukup besar dalam menyukseskan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebagai Presiden ke-6 RI selama dua periode. Â
Sesudah menduduki jabatan sebagai Kepala BNP2TKI selama lebih dari lima tahun. Jumhur  diberhentikan dari jabatan Kepala BNP2TKI karena  isu pembelotan yang diduga berbelok mendukung PDIP yang saat itu mengusung Jokowi sebagai capres 2014.
Lama tidak muncul, Jumhur hadir lagi dalam demonstrasi massa dengan GNKR, meski menyebut tidak memihak Jokowi atau Prabowo, namun tentu saja publik mengerti bahwa Jumhur berada besama di kubu 02.
Alasannya menjadi kordinator tentu saja karena jejak Jumhur yang fasih dalam hal kemampuan dan kebraniannya mengumpulkan masa. Sejak menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB), di rezim Soeharto, Jumhur pernah dipenjara pada 1989, karena terlibat dalam aksi mahasiswa menentang kedatangan Menteri Dalam Negeri, Rudini.
Setelah itu Jumhur dikenal sebagai aktivis buruh melalui elemen Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia. Dalam aktivitas ini Jumhur pernah juga dipenjara karena sering menjadi garda depan demonstrasi. Lalu muncul lagi di demo GNKR kemarin dalam tajuk menyaurakan kecurangan pemilu.
***
Hadir di talkshow Rosi, jelas berbeda dengan aktivitas lapangan Jumhur . Beberapa kali Jumhur "dibantai" bahkan oleh rekan sesama mantan aktivis buruh, Dita Indah Sari. Ada beberapa momen yang menunjukan hal tersebut.
Ketika Jumhur mengatakan bahwa aksi 22 Mei seperti aksi 1998, Dita dengan jelas menolaknya karena sama sekali berbeda. Jumhur mengatakan bahwa ini karena melawan rezim yang melakukan kecurangan, Dita dengan jelas mengatakan bahwa ini hanya soal karena ada pihak yang tidak bisa menerima kekalahan.
Ketika Jumhur mengatakan bahwa kecurangan merusak demonstrasi, Dita mengatakan bahwa yang merusak demokrasi bukanlah kecurangan smeata tetapi sikap anarkisme dan mementingkan kehendak sendri. Jumhur terdiam.
Bukan dengan Dita saja Jumhur harus diam seribu bahasa. Ketika berdialog soal data kecurangan, Jumhur harus rela tak bisa berkata banyak ketika harus beradu data dengan wakil direktur saksi TKN Jokowi-Ma'ruf, I Gusti Putu Artha.
Putu Artha beberapa kali meng-counter Jumhur soal masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga soal meninggalnya petugas KPPS. Komentar-komentar Putu Artha yang logis membuat Jumhur tak bisa berkata banyak.
Memang akan sulit bagi Jumhur jika masuk dalam ranah dialog-dialog berbasiskan data, Jumhur akan kewalahan. Akan tetapi skeali lagi soal aksi dilapangan, Jumhur adalah kordinator, pimpinan tertinggi.
Dita Indah Sari berulang kali mengatakan, bahwa di dalam beberap aksi yang mengerahkan masa, ekses pasti terjadi, dan yang harus bertanggungjawab adalah kordinator lapangan karena tidak dapat mengendalikan massa.
Jumhur dalam aksi 22 Mei kemarin memimpin aksi lewat mobil komando. Nama Jumhur bahkan sempat disebut-sebut oleh Kapolres Jakarta Pusat Komisaris Besar Harry Kurniawan melalui pengeras suara.
Harry meminta tolong kepada pimpinan aksi yakni Bernard dan koordinator lapangan Jumhur Hidayat untuk menenangkan massa yang saat itu sudah mulai memanas dan melemparkan batu ke arah polisi. "Tolong Pak Bernard, Pak Jumhur kami juga rakyat, wartawan sampai ada yang kena batu ini, kasian mereka," ujar Harry.
Kita tunggu aksi Jumhur berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H