Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruki Murakami, Mandiri Marathon Jogja 2019 dan Arti Kehidupan

21 Mei 2019   22:30 Diperbarui: 21 Mei 2019   23:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marathon Jogja I Gambar : dokolx

Memoar penulis Jepang Haruki Murakami yang terbit pada 2007 berjudul  What I Talk About When I Talk About Running, menginspirasi banyak pelari. Dalam memoarnya itu, Murakami merefleksikan hasratnya untuk berolahraga lari jarak jauh, hubungannya dengan menulis, dan ikatan antara berlari dan hidup.

Di memoir ini, ada beberapa perspektif atau kutipan menarik dari Murakami yang mempengaruhi kehidupannya dan banyak yang lain. Salah satunya bertuliskan seperti ini.

"Pikiran yang terpikir saat saya berlari seperti awan di langit. Awan dengan segala ukuran berbeda. Mereka datang dan mereka pergi, sementara langit tetap ada, langit yang selalu sama. Awan hanyalah tamu di langit yang berlalu dan lenyap, meninggalkan langit".

Maksud Murakami sangat mendalam dibalut kalimat yang indah ini. Berlari bukanlah soal sebuah pencapaian, lebih dari sekedar sebuah perlombaan, tetapi bicara tentang kehiudpan itu sendir.

Berlari terkadang adalah soal  bagaimana jiwa itu terbuai ketika fisik dipacu untuk sebuah pencapaian, jiwa itu larut dengan keadaan sekeliling, bahkan terbaharui ketika berpadu dengan alam di sekitar ketika lintasan demi lintasan alam dilewati.

Marathon Jogja menawarkan persis seperti yang Murakami katakan. Mandiri Jogja Marathon 2019 memberikan nuansa yang istimewa yang  akan dirasakan para peserta letika mengayuh kaki mereka dengan sentuhan berbagai keunikan pada tradisi dan alam Yogyakarta sebagai latar belakang lomba.

Lihat saja rute yang dilewati para pelati. Ketika para pe;ari mulai berlari dari titik start di lapangan utama Roro Jonggrang,  selanjutnya  pemandangan Gunung Merapi yang luar biasa akan dapat dinikmati mulai Km 13 hingga Km 15.

Meski para pelari akan dibatasi oleh waktu dan hitungan-hitungan jarak, namun di setiap tikungan para pelari akan menjumpai banyak hal yang tak dibayangkan termasuk pelajaran dari berbagai tempat bersejarah yang tak ternilai.

Pada Km 26, pelari akan disambut oleh Monumen Taruna Perjuangan dengan Museum Pelataran. Dua tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu kisah perjuangan taruna Akademi Militer pada tahun 1949. Monumen ini mengenang para taruna Militer Academy (MA) atau Akademi Militer (Akmil) saat itu yang gugur saat pertempuran melawan Belanda.

Pada Km 37-39 pelari ditemani oleh indahnya Candi Plaosan Lor dan Plaosan Kidul. Arti nama dari kedua candi yang terletak di parit yang sama ini dijelaskan  sebagai berikut. Candi Plaosan Lor dinamakan demikian karena letaknya di utara, kata "lor" dalam bahasa jawa berarti utara. Sedangkan Candi Plaosan Kidul artinya Candi Plaosan Selatan, kata "kidul" dalam bahasa jawa berarti selatan.

Kedua candi ini amat cantik dengan pahatan yang relatif halus dan rapi, sama seperti pahatan di dinding Candi Borobudur, tanda bahwa nenek moyang kita memiliki kreativitas yang tinggi dengan tingkat seni yang tinggi.

Menikmati keindahan candi sambil berlari, seperti menemukan kegairahan kembali,  seperti lapisan yang menabiri hati dan membuka pikiran satu persatu bahwa negeri kita amat elok dan kaya dengan peninggalan budaya.

Sesudah itu para pelari akan sampai di Km 40, dimana pemandangan Candi Sewu dan Candi Bubrah siap menanti dan akhirnya finish di Candi Prambanan. Ketiga Candi ini memberikan sentuhan yang tak kalah memesona dari balik cerita sejarah.

Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur. Candi Sewu juga berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun "hanya" memiliki 249 candi dalam satu kompleks, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang,

Candi Bubrah sendiri amat unik. Bubrah itu dalam bahasa Jawa berarti rusak,  candi yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan dinamakan demikian karena ditemukan dalam keadaan rusak. Meksipun demikian, candi yang telah dipugar ini tetap menarik karena menampakan susunan batu andesit yang tetap terlihat indah.

Soal Candi Prambanan sudah tidak dapat diceritakan dengan kara-kata lagi. Candi Hindu terbesar di Indonesia, adalah salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku yang diperkirakan membangunnya pada tahun 850 Masehi ini dipercaya membangunnya dengan penuh susah payah, namun tidak sia-sia, sangat indah hasilnya. 

Rute lari ini seperti sebuah rute ziarah bagi bagi pelari. Dari setiap tempat, tersimpan kisah manusia, menit ke menit dari abad ke abad. Pelari seperti yang dikatakan Murakami, akan menemukan keheningan dari berbagai emosi yang tertampung, dari kemarahan, kekejaman dan sekaligus keberanian, ketetapan hati dan bahkan kebahagiaan.

Salah satunya adalah Tomy, adalah seorang pelari yang menyambut Marathon Jogja 2019 dengan penuh sukacita. Berlari di Marathon Jogja amat berarti bagi kehidupannya. Sebagai ayah dari dua anak remaja, Tomy sebenarnya berlari untuk kedua anaknya yang sedang berjuang menghadapi penyakit langka, autoimmune disease, sebuah penyakit yang menyerang sistim saraf.

Tomy memberikan testimoni bahwa di setiap rute dia menemukan perspektif baru menjalani kehidupan sembari tetap berada di dalam sebuah keseimbangan, sebuah ekuilibrium, dimana dia tahu harus tetap berjuang, seperti yang anak-anaknya lakukan sekarang.

Setiap kali dia menyentuh garis finish, raganya terasa lemah, matanya sembab, tetapi semangatnya terus berlipat membara demi untuk anak-anaknya. Inspiratif.

Narasi yang sedang diperjuangkan Tomy adalah narasi survivor, narasi seorang pejuang. Yang berani berlari bahkan melintas di jalan yang mungkin tidak rata untuk tiba di simpang berikutnya tanpa ketakutan.

Marathon Jogja memberikan Tomy sebuah kekuatan. Sebuaah ritmis melalui budaya yang tergambar dengan balutan jejak sejarah yang amat kuat. Semua itu memintal, ketika tubuh dan jiwa berkelindan dan memberikan makna baru tentang pengertian bahwa kehidupan harus tetap diperjuangkan dengan harapan yang harus tetap terjaga.

Kembali mengingatkan apa yang dikatakan Murakami. Pelari adalah awan, tetapi langit adalah kehidupan. Ada waktu untuk semua hal dapat terjadi, termasuk hal yang buruk sekalipun, tetapi kehidupan mengajarkan untuk terus berjuang , terus berlari. Terima kasih Marathon Jogja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun