Sebenarnya ada batasan yang sedikit lebih longgar dari Syafii ketika mengusulkan kabinet zaken ini. Kabinet zaken yang dimaksudkannya terdiri atas para ahli dan diperbolehkan dari kalangan politisi. Namun, politikus tersebut ditentukan Jokowi, bukan dari parpol.
Artinya, masih ada kesempatan partai "menikmati" kekuasaan, namun politisi yang terlibat di kekuasaan nanti harus dipilih sendiri oleh Jokowi, bukan sekadar diisi oleh menteri titipan partai koalisi.
Jika berjalan, kabinet zaken dipercaya akan lebih berpihak kepada rakyat Indonesia ketimbang kabinet berbasis kepentingan partai. Karena, kabinet berbasis politik bagi kekuasanan rentan akan adanya konflik kepentingan. Seperti, kepentingan menteri sebagai pejabat publik yang harus melayani publik, di sisi lain juga digenjot untuk melayani partainya.
Berkaca pada penyusunan kabinet 2014 lalu, maka kabinet zaken ini belum berjalan semestinya. Dari 34 menteri, Jokowi menempatkan 20 kursi menteri yang diduduki oleh tokoh nonpartai. Sedangkan 14 kursi sisanya dibagi untuk lima partai politik, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai NasDem.
Melihat peta perpolitikan saat ini dengan gejolak yang terjadi di dalamnya, hampir dapat dipastikan koalisi pemerintahan nanti jika Jokowi terpilih, akan menjadi koalisi gemuk dengan hitungan PAN dan Demokrat pada akhirnya bergabung.
Tantangan membentuk kabinet zaken ini tentu akan semakin berat. Mampukah Jokowi mewujudkannya? Kita tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H