Turnamen bulutangkis level 750 French Open 2018 hari ini telah menjejak babak final dan baru selesai dipertandingkan. Tersisa Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon ke partai puncak sesudah ganda putri Greysia Polli/Apriyani harus terhenti di semifinal.
Kekalahan Greysia/Apriyani yang merupakan juara bertahan tersebut berhasil diobati oleh Kevin/Marcus. Pasangan nomor satu dunia ini berhasil meneruskan penampilan apik sepanjang turnamen dengan menaklukan wakil India, Satwiksairaj Rankireddy/Chirag Shetty (India), dengan dua game langsung, 21-12, 26-24 di babak semi final,
Di final, Â Kevin/Marcus menghadapi Han Chengkai/Zhou Haodong asal Tiongkok. Laga diprediksi berjalan menarik karena pada China Open 2018 lalu, Kevin/Marcus dikalahkan Han/Zhou dengan skor 19-21, 21-11, 17-21.
Benar demikian adanya. Laga yang barus selesai beberapa waktu lalu ini berjalan ketat dalam pertarungan tiga set. Sayangnya, Kevin/Marcus lagi-lagi harus menyerah kalah dari Han/Zhou dengan skor, Â 21-23, 21-8, 17-21.
Seharusnya Kevin/Marcus dapat menyelesaikan pertandingan dengan lebih cepat jika mampu menang di set pertama, tetapi sayang beberapa kekalahan sendiri membuat Kevin/Marcus harus merelakan set pertama, menang di set kedua dengan mudah tetapi jatuh dalam kesalahan yang sama di set ketiga.
"Seharusnya kami bisa menang di game pertama, kami kurang beruntung. Pada game ketiga saya banyak melakukan kesalahan sendiri. Tenaga kami terkuras banyak karena shuttlecock nya berat, tidak seperti di Denmark, di sini lebih banyak menggunakan tenaga," ujar Marcus yang pekan lalu bersama Kevin menjadi juara di Denmark Open 2018.
Saya sendiri melihat Han/Zhou memang tampil tenang menghadapi Kevin/Marcus. Meskipun tergolong pasangan baru dan muda, tetapi  Han/Zhou Nampak seperti pemain berpengalaman yang tak gampang "mati" dalam situasi ketinggalan. Kevin/Marcus harus segera mengevaluasi pertandingan ini, sehingga tidak tergelincir lagi dari Han/Zhou di pertandingan yang lain.
 ***
Ada sebuah hal menarik lain dibalik kegagalan Kevin/Marcus, yaitu soal shuttlecock. Kevin/Marcus menjadi pemain kesekian yang mengeluhkan tentang persoalan ini sesudah kekalahan mereka. Anthony Ginting menjadi salah satunya setelah harus tersingkir di babak pertama French Open 2018.
"Memang ini bukan alasan, tapi saya tak bisa mengontrol shuttlecock di sini yang berat. Saya sudah inisiatif menyerang dari depan, tapi datangnya pengembalian bola cukup lambat dan saya tidak bisa mengontrol ini sehingga saya 'mati sendiri'," kata Anthony setelah kalah dari pemain muda Thailand , Kantaphon Wangcharoen, , dengan skor 20-22, 12-21
"Saya sudah coba tapi feeling nya tidak pas di lapangan. Permainan tidak berjalan seperti rencana saya. Kondisi lapangan dan shuttlecock juga beda dengan pertemuan kami terakhir di Indonesia Masters 2018," tambah Anthony.
Anthony tidak sendirian, ganda campuran senior, Lilyana Natsir/Tantowi Ahmad juga mengeluhkan hal yang sama.
"Kalau dilihat dari penampilan, seharusnya kami bisa menang. Shuttlecock berat, jadi harus ekstra tenaga, harus lebih sabar dan menerapkan pola yang benar. Kalau mau adu cepat adu kuat pasti ketinggalan, tadi sudah benar polanya, tapi kami cepat sekali membuang poin," kata Liliyana setelah dihentikan Yuta Watanabe/Arisa Higashino (Jepang), dengan skor 16-21, 21-16, 21-18 di perempat final.
Ada Apa dengan Shuttlecock?
Ada apa dengan shuttlecock sehingga seperti menjadi "kambing hitam" kekalahan dari pebulutangkis kita.?
Setelah membaca beberapa referensi saya mendapatkan kesimpulan, bahwa itu bukan alasan yang dibuat-buat. Faktor shuttlecock, amatlah berpengarh pada pertandingan. Hal ini berkaitan dengan kecepatan dan berat shuttlecock itu sendiri.
Persoalannya, shuttlecock yang sama mempunyai kecepatan yang berbeda di tempat yang berbeda. Hal ini disebabkan ada faktor perbedaan dari tahanan udara pada ketinggian, kelembaban dan temperatur di tempat dimana turnamen dilangsungkan.
Artinya beda tempat, bisa berbeda berat dan sebagainya. Â Shuttlecock berbulu berjumlah 16 itu dapat bagus jika digunakan di Jakarta tetapi belum tentu sama bagus bila digunakan di Prancis, dan sebaliknya.
Kedua, soal berat shuttlecock. Â Paling tidak ada beberapa sistim atau diagram yang sering digunakan BWF untuk memahami hubungan berat dengan kecepatan shuttlecock, seperti yang dirilis oleh badmintonbay.com.
Pertama, ada ukuran 48/75. Ini berarti agak lambat dan dapat digunakan di daerah tinggi (pegunungan). Angka 48 dapat dijelaskan sebagai berat shuttlecock itu sendiri yaitu 4,8 gram sedangkan angka 75 menjelaskan kecepatan yang standar.Â
Kedua, 49/76, ini tergolong medium lambat dan  cocok digunakan di daerah yang lebih hangat.Â
Ketiga, 50/77 Â yang kecepatannya medium dan digunakan di daerah pesisir.
 Keempat, 51/78,  medium cepat, daerah dingin dan terakhir  52/79 cepat, digunakan di daerah dingin, di bawah permukaan laut.
Perbedaan-perbedaan inilah yang jika lambat diantisipasi dengan adaptasi yang cukup maka akan mempengaruhi para pemain. Jika France Open 2018 yang notabene adalah daerah dingin tentu akan menggunakan shuttlecock yang lebih berat dari turnamen sebelumnya, maka seperti yang dikatakan oleh Kevin/Marcus diperlukan ekstra tenaga untuk menerbangkannya.
Apa yang kita harapkan kedepannya? Â Kita dapat berharap agar masing-masing pemain dapat menemukan cara mengantisipasi perbedaan shuttlecock yang dihadapi, bisa saja mencobanya lebih lama, dan bukan dlangsung di lapangan.
Namun bisa saja hal ini tidak menjadi persoalan utama oleh Kevin/Marcus, yang dapat melaju ke final dengan shuttlecock yang berbeda. Persoalan utamanya adalah turnamen yang begitu memiliki waktu yang amat berdekatan. Stamina tidak dapat mendukung. Apapun itu, kita berharap pemain kita dapat bangkit.
Hanya satu gelar dari dua turnamen, sepertinya sebuah kemunduran.
Semoga di Fuzhou China Open 2018 serta Hong Kong Open 2018 nanti pemain kita dapat tampil lebih baik, apapun shuttlecocknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H