Anthony tidak sendirian, ganda campuran senior, Lilyana Natsir/Tantowi Ahmad juga mengeluhkan hal yang sama.
"Kalau dilihat dari penampilan, seharusnya kami bisa menang. Shuttlecock berat, jadi harus ekstra tenaga, harus lebih sabar dan menerapkan pola yang benar. Kalau mau adu cepat adu kuat pasti ketinggalan, tadi sudah benar polanya, tapi kami cepat sekali membuang poin," kata Liliyana setelah dihentikan Yuta Watanabe/Arisa Higashino (Jepang), dengan skor 16-21, 21-16, 21-18 di perempat final.
Ada Apa dengan Shuttlecock?
Ada apa dengan shuttlecock sehingga seperti menjadi "kambing hitam" kekalahan dari pebulutangkis kita.?
Setelah membaca beberapa referensi saya mendapatkan kesimpulan, bahwa itu bukan alasan yang dibuat-buat. Faktor shuttlecock, amatlah berpengarh pada pertandingan. Hal ini berkaitan dengan kecepatan dan berat shuttlecock itu sendiri.
Persoalannya, shuttlecock yang sama mempunyai kecepatan yang berbeda di tempat yang berbeda. Hal ini disebabkan ada faktor perbedaan dari tahanan udara pada ketinggian, kelembaban dan temperatur di tempat dimana turnamen dilangsungkan.
Artinya beda tempat, bisa berbeda berat dan sebagainya. Â Shuttlecock berbulu berjumlah 16 itu dapat bagus jika digunakan di Jakarta tetapi belum tentu sama bagus bila digunakan di Prancis, dan sebaliknya.
Kedua, soal berat shuttlecock. Â Paling tidak ada beberapa sistim atau diagram yang sering digunakan BWF untuk memahami hubungan berat dengan kecepatan shuttlecock, seperti yang dirilis oleh badmintonbay.com.
Pertama, ada ukuran 48/75. Ini berarti agak lambat dan dapat digunakan di daerah tinggi (pegunungan). Angka 48 dapat dijelaskan sebagai berat shuttlecock itu sendiri yaitu 4,8 gram sedangkan angka 75 menjelaskan kecepatan yang standar.Â
Kedua, 49/76, ini tergolong medium lambat dan  cocok digunakan di daerah yang lebih hangat.Â