"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."Â
Manajemen persepakbolaan kita yang masih carut marut, akibat masih ada orang-orang yang lebih suka mementingkan diri sendiri dari bola itu sendiri. Itu baru satu. Kedewasaan pendukung sepak bola yang entah kapan akan dewasa dengan korban jiwa yang terus berlanjut membuat hati menjadi miris, menjadi masalah nyata lainnya. Sampai kapan sepak bola kita merdeka tanpa hal-hal seperti ini.
Terkadang saya berpikir sedih juga menyalahkan suporter karena klub dan petinggi sepak bola di tanah air kita juga saling tuding. Jika di bagian kepala bermasalah maka terlalu berlebihan mengharapkan di bagian ekor dapat berubah. Terlalu banyak omong kosong di sekitarnya.
Di posisi itulah saya pikir, terlalu berlebihan mengharapkan Timnas U-19 menjadi jawaban dari semua persoalan itu. Apalagi mengharapkan bahwa jika lolos ke Piala Dunia U-19 akan memerdekakan kita dari keterkungkungan yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Gila!
Sampai di titik ini, saya masih melihat Timnas U-19 Â seabgai anak muda bangsa yang berusaha mencintai sepak bola dengan cara mereka sendiri. Tidak lebih, tidak kurang. Ketika mereka memberikan waktu mereka, mengorbankan kesenangan masa muda dengan berlatih sungguh-sungguh, memberikan yang terbaik di lapangan, saya pikir mereka sudah seperti Sugondo, M. Yamin, W. R Supratman cs yang juga telah melakukan hal yang sama pada jamannya.
Ketika nama-nama di atas pada 1928 sudah bermimpi untuk sesuatu yang besar, disitulah adanya kemerdekaan.
Penilaian kita akan keberhasilan Egy Vikri, Todd Rivere, Witan dan kawan-kawan seharusnya juga sama seperti itu. Kita bukan bicara hanya soal menang atau kalah semata dalam pertandingan nanti, kita seharusnya melampaui kekalahan dan kemenangan itu.
Kita sebenarnya sudah mulai memahami itu. Ketika Timnas U-19 kalah 5-6 dari Qatar, kita tidak larut dalam kesedihan tetapi kita memberikan apresiasi untuk semangat perjuangan Timnas U-19 yang dapat mengejar dari ketertinggalan 1-6, hingga 5-6. Luar biasa perjuanga mereka.
Mereka berlari, berjuang tanpa lelah dengan gagah berani, bukankah itu lebih dari sebuah kemenangan?
Kita bahkan sudah bersiap-siap untuk kalah dan pasrah setelah Nurhidayat dikeluarkan karena kartu merah di awal babak kedua saat melawan UEA. Tetapi Timnas tidak patah semagant. Kita bisa melihat bagaimana Witan tidak berhenti berlari, Firza Andhika tidak lelah mengejar bola dan Egy yang cedera bertanding seperti untuk terakhir kali dalam hidupnya.Â
Jika pun mereka harus kalah saat itu, kita tersadar bahwa mereka sudah memperjuangkannya dengan semangat gagah berani.