Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ratna Sarumpaet, Thomas Hobbes, dan Sepak Bola

8 Oktober 2018   11:47 Diperbarui: 8 Oktober 2018   12:36 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah laga yang amat penting dan menentukan, belum satu babak selesai, tiba-tiba RS terjatuh di lapangan. RS adalah striker dari tim putih.  RS merintih, menunjuk sana-sini seperti hendak mengatakan bahwa pemain tim merah menyikutnya. RS bahkan membuka kaos kakinya, menunjuk lebam merah. Masih belum tahu mengapa?

Situasi menjadi sedikit kacau di lapangan. Pemain setim RS  lantas mengerubungi wasit. Di saat pemainnya berulah di lapangan, sang pelatih tim putih, PS,  juga sedang berteriak memprotes keras dari pinggir lapangan, seperti meminta keadilan. PS memohon harus ada kartu bagi pemain lawan.

Padahal belum jelas sebenarnya apa yang sedang terjadi, hanya rintihan RS yang terdengar dengan mata memandang ke arah PS.

Wasit lalu meminta waktu untuk melihat VAR, teknologi pengulangan Video untuk melihat kejadian sebenarnya.  Saat wasit sedang sibuk dengan VAR, tim medis memeriksa RS. Jempol dari tim dokter menandakan bahwa RS tidak mendapat cedera serius. PS dan tim bench putih lalu  berangsur terdiam.

Tak lama kemudian tayangan VAR jelas terlihat. RS jatuh sendiri, melakukan diving lalu berakting sempurna.  RS mengaku berbohong.  Rekan setimnya tertipu, bahkan sang pelatih juga tertipu dibuatnya. RS akhirnya dikeluarkan dari lapangan.

Kharisma PS sebagai seorang pelatih yang disegani  tercoreng. Sesudah itu dengan berbesar hati meminta maaf seusai laga, PS meminta maaf kepada para penonton dan pecinta sepak bola. Ada yang menyesalkan  mengapa PS tidak mendengar kabar jelas dari tim medis dan VAR dahulu baru bertindak emosional.

Mengapa pula, para asisten pelatih malah ikut memanaskan suasana, padahal di bench itu berdiri para tetua, tenaga medis, psikolog yang seharusnya meminta PS harus lebih sabar menunggu apa yang sebenarnya.

Pengamat amatiran pun sampai berpikir negatif, jangan sampai ada instruksi dari pinggir lapangan agar RS melakukan hal tersebut, meski akhirnya tidak berhasil.  Semoga itu hanya ilusi dari pengamat saja, bukan ilusi dari RS yang mengaku ketika melakukan itu, ia seperti orang yang sakit jiwa atau dipengaruhi setan.

Sekarang tindakan yang melanggar fair play itu semestinya dihukum, karena sepak bola jelas membenci dan memandang haram tindakan seperti itu. Hanya perlu sabar menunggu sejauh mana, komisi disiplin akan menjatuhkan hukuman. Untuk RS dan bisa saja untuk barisan pelatih.

***

Jika peristiwa dari negeri antah berantah  ini dimaknai sebagai sebuah kejadian yang berkaitan dengan iklim kompetitif dan kekuasaan maka saya teringat akan apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes seorang sejarawan, akademisi, jurnalis sekaligus ilmuwan Politik yang hidup pada tahun 1588 - 1679.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun