Pak Ximenes terkadang lupa apabila ada yang menanyakan usia kemerdekaan bangsa ini padanya. Namun baginya hal itu bukan masalah besar baginya. 16 Agustus kemarin dia terlihat paling antusias menyambut HUT Kemerdekaan Indonesia.
Di depan rumahnya yang sederhana, bendera kecil terpasang rapi, sore itu dengan sapu di genggaman tangannya, dia terus membersihkan halaman rumahnya. Asap mulai mengepul dan keringat peluh mulai menetes. Â Semua dilakukan untuk menyambut hari Kemerdekaan Indonesia. Â
"Mengapa mencintai Indonesia om?" tanya saya di sela kerja sore kemarin.
"Indonesia sudah beri saya dan keluarga makan" jawab Pak Ximenes singkat dan datar. Â Â
Pak Ximenes adalah orang Timor Timur yang memilih Indonesia saat jajak pendapat pada 1999. Ada banyak cerita misteri tentang dirinya, lagi-lagi soal usia. Wajahnya sepertinya tidak menunjukan usia "kerja"nya sekarang.
Ximenes tercatat negara berusia 52 tahun, ini berarti dia masih 6 tahun lagi pensiun. Padahal menurut pendapat banyak orang, termasuk saya, Ximenes sepertinya sudah berusia 60-an tahun.
"Wah, Pak Ximenes sepertinya tipu umur nih.." kata saya sambil bercanda dengannya.
"Berkas-berkas saya terbakar....saya juga lupa" jawabnya singkat. Pak Ximenes memang lugu, menjawab jujur apa adanya.
Ceritanya, Pak Ximenes dibuatkan data baru ketika integrasi, semua data diambil secara lisan. Pak Ximenes memang tak mahir menulis dan membaca. Tetapi jangan salah, di luar kekurangannya itu, Pak Ximenes adalah orang yang terlihat sangat disiplin.
Pakaiannya rapi. Jika ada upacara, apalagi upacara 17 Agustus dia datang paling awal dengan kostum yang lengkap dan berdiri paling depan. Dia juga tidak pernah mempermasalahkan panasnya matahari jika sedang upacara.
Saya berusaha sedikit mengorek latar belakang tentang kedisiplinannya itu.
"Saya lama dengan tentara" katanya pelan memulai cerita.
"Ketika tentara mengejar gerakan separatis dan masuk ke hutan-hutan, sekitar periode 1975 hingga 1980-an. Saya di depan" katanya.
"Ikut berperang?" tanya saya.
"Penunjuk jalan" jawab Pak Ximenes.
Meski tak dapat membaca, paling tidak Ximenes muda paham akan medan dan dapat berbahasa daerah.
"Mereka (tentara) mempunyai sesuatu yang membuat kami harus menghindari sesuatu" katanya lagi.
"Kompas?" tanya saya.
"Ya itu..kompas" jawabnya. Meski saya berpikir yang dimaksudkannya adalah pendeteksi logam.
Pak Ximenes lantas bercerita tentang beberapa kilogram beras dan uang sekitar 10 ribu yang diberikan per beberapa bulan untuk upahnya sebagai penunjuk jalan di tengah hutan.Â
 Ximenes muda melihat tugasnya itu sebagai tugas kenegaraan sehingga dia tak terlalu memedulikan pendidikannya saat itu. Ximenes hanya tamatan SMP.
Sesudah keluar dari hutan, Ximenes lantas bergabung dengan Kodim. Bukan sebagai tentara tentunya, tetapi berdisiplin seperti tentara hingga diangkat sebagai PNS di Timor Timur.
Soal kehidupannya bersama tentara, tak banyak Pak Ximenes bercerita, meski beberapa hal yang diceritakannya membuat saya sempat mengernyitkan dahi.
Cerita kami lantas bergerak mundur ke saat perjuangannya melewati perbatasan hingga ditampung di asrama kantor kami. Pak Ximenes bersama ribuan orang lainnya perlu beberapa hari dari Atambua hingga akhirnya sampai di Kupang. Tentu karena mencekamnya situasi, karena sekarang Atambua ke Kupang normalnya ditempuh dalam waktu sekitar hanya 12 jam melalui perjalanan darat.
Mereka berjuang bukan saja secara fisik, untuk dapat bertahan hidup dengan misteri siapa yang akan memberi mereka makan di Timor Barat, tetapi juga berjuang secara mental dengan bertanya dalam hati, apakah ini pilihan yang paling tepat?
"Susah ya pak Ximenes?" tanya saya.
"Susah betul..." jawabnya.
"Mengapa mau?" tanya saya lagi.
"Indonesia yang beri saya nasi" jawabnya, lagi-lagi singkat.
Saya lantas merenung.
Pak Ximenes adalah warga negara yang pernah terlibat dengan pilihan untuk mencintai bangsa ini dalam perjalanannya sebagai rakyat Indonesia.Â
Ximenes menggambarkan bahwa Ibu Pertiwi adalah ibarat ibu pada umumnya memberi makan. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat dia memilih tetap menjadi warga Indonesia dan bersikap hormat terhadap bangsa ini.
Di HUT Ke-73 RI ini saya lantas bertanya dalam hati, gambaran bangsa seperti apa yang ada di benak saya? Bagaimana jika saya diperhadapkan terhadap pilihan untuk meninggalkan bangsa ini dan memilih bangsa lain? Pertanyaan yang memang jarang saya pikirkan.
Mengapa? Karena sebagai warga negara saya terlalu sibuk memikirkan diri saya sendiri, kepentingan golongan, partai dan lainnya. Menjadi bangsa dimana kekuasaan adalah yang utama. menjadikan bangsa ini yang seharusnya dibangun tetapi terus dieksploitasi.
Saya bahkan sering bertanya, apa yang sudah bangsa berikan pada saya, bukan apa yang sudah saya berikan pada negara. Saya tidak mau berlagak seperti John F Kennedy ketika mengatakan seperti ini, karena menjadi seperti Ximenes saja saya mampu.
Ah, lagi-lagi saya menjadi normatif. Omong kosong, perkataan muluk bahkan ilusi terlalu sering saya ucapkan dan seperti mau menghipnotis banyak orang.
Ah, Bangun, Bangun! Sudah berusia 73 tahun bangsa ini. Terlalu senja untuk hanya mendengarkan omong kosong, terlalu senja hanya untuk mendegarkan keluhan dan hasutan berbau SARA dimana-mana.
Lalu saya berpikir yang harus dilakukan? Angkat senjata? Lawan penjajah? Lagi-lagi omong kosong apa lagi.
Angkat gagang sapu. Bersihkan halaman, sekalian kotoran yang ada di dalam diri. Jikalau ada pupuk kebencian, bersihkan dan cabut tanaman perusak, mengadu domba dan menghasut itu.
Tidak lelah melalukan itu semua? Tidakkah sadar, Ibu Pertiwi iakan terus tersakiti dengan perbuatan kita?
Ah...
"Saya pergi dulu..." kata Pak Ximenes menyela perenungan saya.
"Ke mana..?" tanya saya.
"Turunkan bendera di depan kantor..." jawabnya.Â
Pak Ximenes adalah penjaga kantor. Tetapi rasanya dia lebih menghormati bendera itu daripada saya.Â
Dirgahayu Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H