Mengapa? Karena sebagai warga negara saya terlalu sibuk memikirkan diri saya sendiri, kepentingan golongan, partai dan lainnya. Menjadi bangsa dimana kekuasaan adalah yang utama. menjadikan bangsa ini yang seharusnya dibangun tetapi terus dieksploitasi.
Saya bahkan sering bertanya, apa yang sudah bangsa berikan pada saya, bukan apa yang sudah saya berikan pada negara. Saya tidak mau berlagak seperti John F Kennedy ketika mengatakan seperti ini, karena menjadi seperti Ximenes saja saya mampu.
Ah, lagi-lagi saya menjadi normatif. Omong kosong, perkataan muluk bahkan ilusi terlalu sering saya ucapkan dan seperti mau menghipnotis banyak orang.
Ah, Bangun, Bangun! Sudah berusia 73 tahun bangsa ini. Terlalu senja untuk hanya mendengarkan omong kosong, terlalu senja hanya untuk mendegarkan keluhan dan hasutan berbau SARA dimana-mana.
Lalu saya berpikir yang harus dilakukan? Angkat senjata? Lawan penjajah? Lagi-lagi omong kosong apa lagi.
Angkat gagang sapu. Bersihkan halaman, sekalian kotoran yang ada di dalam diri. Jikalau ada pupuk kebencian, bersihkan dan cabut tanaman perusak, mengadu domba dan menghasut itu.
Tidak lelah melalukan itu semua? Tidakkah sadar, Ibu Pertiwi iakan terus tersakiti dengan perbuatan kita?
Ah...
"Saya pergi dulu..." kata Pak Ximenes menyela perenungan saya.
"Ke mana..?" tanya saya.
"Turunkan bendera di depan kantor..." jawabnya.Â