"Tak takut kamu ditangkap...." tanya saya. Mira terdiam cukup lama, matanya mulai berkaca-kaca.
Agamanya mengajarkan bahwa dia harus taat pada suaminya, meski seharusnya di antara itu, takut akan Tuhan adalah yang terutama. Cinta memang terkadang meniadakan hal di antara itu.Â
Membesarkan anak sendirian, melewati dua kali lebaran dengan suami berada di penjara bukanlah hidup ideal yang diinginkan oleh Inneke. Membawa anak-anak untuk mengunjungi Fahmi di Sukamiskin dianggap Inneke sebagai mudik lebaran. Bahagia saat pergi, namun penuh kesedihan saat pulang.
Seperti Mira, Inneke juga berharap Fahmi mendapatkan fasilitas yang baik di Sukamiskin. Sebagai istri mereka juga takut jika harus melakukan tindakan melawan hukum untuk membahagiakan suami. Namun jika tidak demikian, apa ukuran cinta bagi mereka? Logika mereka terkadang ditaklukan oleh janji untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Sesudah ditangkap, Inneke menangis. Entah jenis tangisan yang mana. Tangisan Inneke bisa saja adalah tangisan penyesalan. Namun tangisan itu juga bisa dikarenakan kesedihan karena sang suami tidak mendapat kebahagiaan di penjara seperti yang diinginkannya.
Seharusnya tahun depan, Inneke boleh berharap untuk merayakan Lebaran dengan sang suami apabila Fahmi mendapatkan keringanan hukuman, namun sepertinya harapan itu telah kandas dengan kasus ini. Hari-hari Inneke kembali suram.
Mira? Mira sementara pulang ke kampungnya karena sang mertua menganggap Mira tak sanggup menjadi istri yang baik bagi anaknya.
***
Suatu hari di waktu lampau, oma (nenek) membariskan cucu-cucunya yang sudah beranjak dewasa, semua laki-laki sebelum makan. Sebelum berdoa makan oma berkata, "Jangan pernah memberi makan anak dan istrimu dari uang tak halal. Jika kalian melakukannya, kalian adalah lelaki brengsek" ujar oma.
Brengsek..ya brengsek....
Sedangkan untuk cucu yang perempuan, oma bernasihat singkat.Â