"Saran saya untuk orang tidak mampu lainnya adalah berkonsentrasilah pada sesuatu yang tidak dapat diganggu dengan keterbatasan Anda, jangan sesali hal-hal yang mengganggu. Jangan menjadi terbatas secara rohani seperti halnya jasmani Anda" - Stephen Hawking.
Saya tidak tahu persis kapan kutipan di atas itu dikatakan oleh ahli fisika populer dan kosmologi, Stephen Hawking yang meninggal pada usia 76 tahun Rabu kemarin.
Namun dari kata-katanya, ini kemungkinan besar dikatakannya sesudah dia didiagnosa amyotrophic lateral sclerosis (ALS) pada tahun 1963, penyakit yang menyerang saraf motorik otak dan tulang belakang yang mengakibatkan Hawking sudah harus mengalami kelumpuhan di usia muda.
Bukan saja akan mengurangi kemampuan bicara, fungsi tangan dan kaki, pada saat itu, Hawking yang saat itu baru berusia 21 tahun, bahkan diprediksi hanya akan hidup selama 2 tahun lagi. Â Â
Perlahan-lahan saraf-saraf motoriknya mulai terganggu, fungsi komunikasi antara otak dan saraf tulang juga terhambat. 2 tahun terlewati, Hawking belum meninggal, namun pada 1974, Hawking sudah tidak mampu makan atau bangun tidur sendiri.
Meski masih bisa berpikir dan mengatakan sesuatu, suara Hawking malah menjadi tidak jelas. Namun itu tidak menyurutkan semangatnya. Lulusan Trinity Hall, Cambridge soal astronomi teoretis dan kosmologi ini tidak mau menyerah pada keadaan. Hawking muda seperti mengilhami bahwa di setiap kesulitan, tentu ada jalan keluar bagi yang mau berusaha.
Benar demikian adanya. Seorang ilmuwan Cambridge melalui 'voice synthesizer' mampu membuatkan alat yang membantu Hawking menulis apa yang ingin ia katakan pada sebuah komputer. Tulisan itu juga bisa diperdengarkan melalui alat itu. Alat yang dibantu Intel, untuk terus memperbarui demi menerjemahkan pikiran-pikiran Hawking yang luar biasa.
![Kursi kehidupan Hawking I Gambar : CNN](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/15/hawking-cnn-5aaa2e66bde57571b55d9944.jpeg?t=o&v=770)
Selama 56 tahun hidup dalam kondisi fisik yang tidak normal, Hawking berbuat sesuatu yang besar bagi dunia, dengan memaksimalkan kekuatannya, yaitu pikirannya dan melupakan keterbatasannya. Inspiratif.
Mengingat perjalanan hidup Stephen Hawking, saya tersontak mengingat bintang sepak bola asal Argentina dan klub Barcelona, Lionel Messi. Â Lupakan sejenak seabrek gelar termasuk 5 gelar pemain dunia FIFA yang pernah direngkuhnya, kita mundur puluhan tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1998.
![Bertubuh kecil, tapi fokus pada kekuatannya, Messi I Gambar : telegraph](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/15/lionel-messi-barce-1409834c-5aaa2eb2caf7db581226bbe2.jpg?t=o&v=770)
Dokter Diego Schwarsztein lantas memeriksa Messi dan mendiagnosa Messi mengalami defisiensi hormon atau kekurangan hormon pertumbuhan. Sebuah kelainan  yang jarang ditemukan pada anak-anak, sekaligus membutuhkan biaya yang tidak murah. Apalagi Jorge cuma buruh pabrik dan Celia adalah seorang binatu.
Singkat cerita, Messi tidak pernah kendur untuk bermain bola meski mengalami keanehan tersebut. Kekuatannya ada di dalam kelemahannya. Dalam tubuh kecil, Messi mampu berkelit lincah dari sergapan musuh, bahkan Messi terus melatih kekuatan kakinya, terutama kaki kirinya yang fenomenal itu.
![Messi kecil, kaki kirinya sudah hebat sejak dulu I Gambar : Telegraph](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/15/lionel-messi-2751594b-5aaa2f14cbe523226b45ac22.jpg?t=o&v=770)
Rexach yakin, Akademi La Masia akan sangat beruntung menerima pemain yang masih mempunyai kelainan tubuh ini. Barcelona lantas segera mengontraknya dan meyakinkan orangtua Messi, bahwa Messi akan diobati.
![Rexach berdiri kiri dan Messi yang dilingkari I Gambar : Vox](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/15/rexach-messik-5aaa311aab12ae29273c9392.jpg?t=o&v=770)
Mengingat kisah riwayat kelainan hormonnya, membuat orang paham bahwa dia memang tak bisa setegap Christiano Ronaldo dan sekekar Luis Suarez sekalipun, tetapi bek-bek raksasa kelas dunia seperti Nemanja Vidic, Rio Ferdinand, Giorgio Chiellini hingga Sergio Ramos pun harus mengakui kekuatannya adalah di kakinya, bukan ukuran tubuh.
Kaki kanan dan kirinya bergantian, meloloskan bola di antara dua kaki kiper timnas Belgia itu. Biasanya kiper seharusnya malu diperlakukan demikian, namun semua kiper tahu, bahwa dibobol oleh Messi bisa saja menajdi suatu kehormatan. Pria yang tahu, bahwa keterbatasan tidak akan menghalanginya untuk menginspirasi dunia.
Di masa mudanya sebelum didiagnosis ALS, Hawking lebih senang menggeluti olahraga dayung. Kekuatan fisik dan suasana kompetitif mungkin menjadi alasan Hawking terlibat di olah raga yang tak menarik itu. Namun ketika berada di "kursi kehidupan", Hawking lebih mencintai sepak bola.
Olah raga paling menarik sedunia ini memang menarik perhatian Hawking, dengan keluarnya beberapa teori yang menarik dan juga menggelitik. Seperti mengatakan bahwa pemain botak dan gondrong akan lebih sering mencetak gol dari pemain lainnya.
Bahkan, pada Piala Dunia 2014, pria kelahiran Oxford ini bahkan berpikir bahwa Timnas Inggris akan sukses dengan formasi 4-3-3, berdasarkan analisis data yang dilakukannya, termasuk soal lini depan dan warna seragam dikomentari Hawking juga secara ilmiah.
Ayah dari Lucy, Robert, dan Tim ini seperti ingin mengatakan bahwa alam semesta akan menjadi lebih menarik apabila ada hal-hal dicintai, mungkin sepak bola bagi Hawking adalah salah satunya.
Messi tentunya demikian. Jika dia tidak mencintai sepak bola, maka dia akan menyerah ketika tahu bahwa ada kelamahan di dalam fisiknya, dan juga keterbatasan keluarga untuk mencintainya. Mencintai sepak bola itu bisa berarti tetap berjuang dan berada di lapangan sampai pada waktu peluit panjang dibunyikan.
Mencintai itu tetap berpikir seperti Hawking dari "kursi kehidupan" untuk tetap memberikan warna bagi dunia hingga waktu mengatakan untuk berhenti. Ah, sekali lagi inspiratif.
Terima kasih Stephen Hawking, Terima Kasih Messi dan Terima Kasih Sepak Bola.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI