"Ya, sudah, Saya paham. Pak Arnold, tidak usah lagi menggurui," ujar pimpinan rapat sekaligus pimpinan kantor tadi pagi. Saya langsung terdiam. Beberapa teman kaget, dan merasa pimpinan sudah salah menerjemahkan apa yang saya maksudkan di rapat pertama kantor di tahun ini.
Hilang sudah beberapa catatan, dan poin-poin penting yang sudah saya utarakan dan maksudkan. Kecewa bercampur sedih karena pendapat dan saran beserta solusi yang sudah saya persiapkan dan sampaikan itu terasa sia-sia dengan satu kata. Menggurui.
Menyampaikan sesuatu di rapat itu dengan cara yang tepat memang menjadi soal untuk setiap karyawan. Apalagi jika yang mau disampaikan itu berkaitan dengan perubahan di kantor. Takut, percuma saja disampaikan tidak akan ada perubahan, lalu tidak mampu berkomunikasi adalah beberapa alasan dari beberapa rekan yang memilih diam di sebuah rapat.
"Cari aman ya?" ujarku suatu saat, ketika rasanya di rapat hanya saya dan seorang teman lain yang terlihat "vokal" untuk menyampaikan sesuatu. "Daripada dipindahkan atau tidak dikasih perjalanan dinas, mending diam," kata Robert, teman kantor terus terang. "Jika saya dipindahkan, saya mau jadi pustakawan," ujarku becanda pada rekan-rekan yang lain. "Mau baca buku ya," tanya mereka, nyindir. "Yaaa..." jawab saya. Dulu kami sering bercanda, bahwa jika terlalu "vokal" kami bisa diancam dipindahkan ke kantor lain. Arsip atau Perpustakaan. Jika benar terjadi, saya akan memilih yang kedua. Haha.
Intinya, Saya bukanlah orang yang terlalu khawatir jika menyampaikan sesuatu yang saya rasa penting, prioritas dan mendesak di dalam sebuah rapat, apalagi berkaitan dengan pelayanan publik. Namun saya juga mengerti bahwa cara berkomunikasi dengan pimpinan dalam rapat itu teramat penting jikalau ingin saran kita didengar olehnya.
"Pujilah pimpinan di dalam rapat yang dihadiri banyak orang, dan berilah kritik atau saran secara empat mata di ruangan jikalau itu mengenai kinerja pimpinan," saran Thomas, salah seorang senior yang sering saya ajak berdiskusi soal ini, meskipun dia bekerja di kantor yang berbeda.
Selama bekerja kurang lebih 7 tahun di kantor milik pemerintah ini, saran itu memang manjur dan berjalan sangat baik. Saya dianggap pintar mengambil hati pimpinan dengan puji-pujian. Memang itu pantas dan bukan hasil karangan. Artinya pujian itu juga cukup, jangan juga terlalu berlebihan. Jika berlebihan dianggap konyol atau cari muka.
Jikalau berkaitan dengan saran atau kritik, saya akan masuk ke ruangan dan berbicara dengannya. Semuanya berjalan lancar dengan dua pimpinan yang lama.
Tetapi memang ada catatannya. Selain bicara empat mata, kita juga harus dikenal dengan pegawai yang tidak hanya OMDO alias omong doang saja di kantor tanpa kontribusi nyata. Karena jikalau hanya pegawai OMDO, maka walaupun empat mata maka saran kita tidak akan didengarkan. Bahkan kita akan dinasehatin di ruang kerja pimpinan secara empat mata, tetapi dengan suara yang bisa terdengar oleh rekan-rekan lain. Malunya minta ampun.
Namun pagi ini saya gagal. Saya dianggap menggurui pimpinan ketika menyampaikan pendapat. "Itu tergantung gaya pimpinan, kamu harus membaca gayanya dan orangnya seperti apa terlebih dulu, Nold," ujar Thomas lagi sesudah saya menceritakan bahwa kali ini saya dianggap menggurui oleh si pimpinan yang belum genap dua bulan memimpin unit kami.
"Mungkin saja orangnya tidak suka mendengar bawahan bicara terlalu panjang, mesti poinnya baik dan bagus," tambah Thomas. Bisa jadi benar, kata beberapa teman, pimpinan kali ini adalah orang lapangan bukan orang kantoran. Maksudnya dia lebih suka action daripada teori di meja rapat.
"Wah bukankah semuanya dimulai dari meja rapat dulu?" tanyaku dalam hati. Ah, sudahlah, kenyataannya memang ada yang demikian.
"Lalu, gimana solusinya?" tanya saya. "Perhatikan lagi gayanya, jika dia terkesan seperti itu, coba pikirkan untuk memberikan masukan lewat tulisan bukan lisan," ajar Thomas.
"Wah, menarik, belum pernah dicoba," balas saya antusias. Thomas lalu menceritakan bahwa dia memang pernah menghadapi pimpinan seperti itu, dan cara memberikan resume usulan berdampak baik terhadap perubahan di kantor sekaligus menjaga hubungan relasi pimpinan dan bawahan tetap sehat.
"Ok..bang..makasih," jawab saya.
Bagi saya diskusi dan belajar tentang skill berkomunikasi dengan pimpinan ini teramat penting dalam kerangka perubahan di kantor. Ide-ide cemerlang untuk perubahan cara kerja dan usulan metode baru yang lebih efektif dan efisien sering terhambat karena kelemahan dalam berkomunikasi dengan pimpinan.
Malam ini, saya sudah selesai membuat resume tulisan poin-poin rapat meskipun ulangan dari apa yang saya sampaikan tadi pagi. Apalagi tadi pagi tidak ada yang membuat notulen rapat. Rencananya besok atau lusa akan saya berikan kepada pimpinan.
Sistem kerja di kantor berlabel pemerintah dengan orang-orang yang tidak mau berubah atau status quo seringkali menjadi penghambat dari gairah keinginan kita untuk melakukan sesuatu, meski itu hanya perubahan kecil. Oleh karena itu, kita juga harus belajar ketrampilan berkomunikasi untuk menyampaikan sesuatu di dalam sebuah rapat, bukan memadamkan semangat untuk perubahan.Â
"Eh....pengalamanku, pimpinan seperti ibu bisa jadi pendendam. Kamu sudah minta maaf?" tanya Thomas sebelum mengakhiri obrolan kami. "Sudah," ujarku. "Bagus," jawabnya. Meski dalam hati, baru pertama kali saya meminta maaf di hadapan pimpinan. Tidak mudah.
Salam..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H