Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pesona Bukit Wairinding, Umbu Aga, dan Kesadaran Kita

26 Februari 2018   20:57 Diperbarui: 27 Februari 2018   01:35 3267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Om, foto om.." ujar anak kecil bercelana merah mengagetkanku. "Wah, hati-hati bermain disini" jawabku spontan ketika sedang menikmati pesona keindahan bukit Wairinding. Baru beberapa menit saya berdiri di puncak bukit ini. Waktu tempuh sekitar 30 menit dalam jarak 25 Km dari Waingapu dipuaskan dengan pemandangan yang mengagumkan ini.

Nama anak itu "Umbu" Aga, anak laki-laki Sumba Timur berusia sekitar 4 tahun. "Umbu" adalah panggilan untuk anak laki-laki asal Sumba. Anak ini "menemani"ku selama berada di perbukitan Wairinding yang cantik dengan guratan celah-celah seperti kawah.

"Hati-hati Aga.." . Sudah lebih dari satu kali saya mengatakan hal yang sama kepada Aga. Tak kenal takut, Aga melompat lincah diantara bukit dengan mayoritas bebatuan putih yang kiri kanannya adalah jurang.

Bukit Wairinding yang tenang ini bagi Aga adalah taman bermain. Aga tak takut berperosotan agak jauh ke bawah bukit mengikuti saya dan beberapa rekan yang turun demi mendapatkan spot yang lebih bagus.

"Agaa..." teriak beberapa temannya yang sedikit lebih tua darinya. Mereka mungkin heran mengapa Aga berlaku akrab dengan kami. Saya sempat memanggil mereka untuk bergabung, tetapi mereka tak mau. Mungkin malu, mungkin juga takut.

Wajar saja, taman bermain anak-anak Desa Pambota Jara, Kecamatan Pandawai dimana bukit Wairinding ini berada memang sudah "tak bebas" seperti dulu. Tempat ini mulai ramai dikunjungi setelah digunakan sebagai salah satu lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas yang disutradarai oleh Mira Lesmana.

Aga dan kakaknya Iin I dokpri
Aga dan kakaknya Iin I dokpri
Taman bermain anak-anak desa ini memang sangat indah. Bahkan beberapa orang menyebut tempat ini sebagai permadani taman surga yang terhampar nan menawan.

Jika datang di musim penghujan, Januari hingga Juni, permadani itu akan berwarna hijau. "Mirip bukit-bukit di New Zealand" ujar salah seorang rekan. Sedangkan jika datang di atas periode Juli-Oktober, maka hamparan rumput perbukitan ini akan berwarna kuning. "Eksotis, seperti di Afrika" kata teman yang sama. "Apalagi jika Sunset..." tambahnya.

Bagi saya, bukit Wairinding adalah ketenangan dan kedamaian. Berdiri, duduk hingga rebahan beralaskan rumput dan merasakan semilir angin sambil melihat bukit-bukit ini membuat hati terasa nyaman. Memang terkadang ketika melihat keindahan alam sebagai ciptaan Tuhan, menjadikan kita lebih mudah bersyukur saat menjalani kehidupan yang dianugerahkan ini.

Landscape Wairinding memang masih alami dan luar biasa indahnya, dibalut padang rumput dan savana bukit-bukit ini tampak seperti sebuah lukisan. Lukisan yang dilukis oleh sang Pelukis Agung.

Bukit Wairinding, mulai ramai dikunjungi I dokpri
Bukit Wairinding, mulai ramai dikunjungi I dokpri
Lamunan saya tentang kebesaran ilahi tiba-tiba lenyap ketika dari bawah belahan bukit muncul dua orang wanita dewasa memanggul karung kecil. Sepertinya mereka baru pulang berkebun. "Kebun jagung..." kata seorang rekan yang membaca tanyaku sambil menunjuk ke sebuah titik yang masih dapat ditangkap mata telanjang. Kebun jagung. Kedua wanita itu tampak tersenyum dan juga terburu-buru, bukan pada kami tapi pada Aga yang masih bersama kami.

Permadani surga ini memang adalah surga bagi mereka. Jika saya dan rekan-rekan pengunjung memandangnya sebagai obyek yang bisa dijadikan sebagai spot terbaik berinstagram, tetapi bagi beberapa orang desa, mereka menjadikan ini sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Sontak kesadaran saya digugah dalam bentuk kekuatiran, terutama soal efek negatif jika sudah terlalu banyak wisatawan atau pengunjung yang datang.

Jujur, cukup banyak sampah plastik yang sudah saya temukan di bukit Wairinding ini. Artinya banyak oknum pengunjung yang belum memiliki kesadaran untuk menjaga tempat wisata yang masih alami ini agar tetap bersih.

Sampah plastik di Wairinding I dokpri
Sampah plastik di Wairinding I dokpri
Tempat ini memang belum dikelola dengan baik. Untuk masuk, kita hanya perlu mengisi buku tamu dan memberikan uang serelanya saja.

Belum ada tempat sampah dan fasilitas yang memadai. Namun meskipun demikian, jika kita peduli kehidupan Aga Cs dengan taman bermainnya dan beberapa warga yang menaruh harap pada lahan perkebunan mereka, maka seharusnya itu menggugah kesadaran kita, khususnya kesadaran menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungan.

Wairinding, permadan surga I dokpri
Wairinding, permadan surga I dokpri
Jarak yang tak jauh dari jalan besar dan hanya butuh sedikit trekking untuk sampai ke bukit ini, bisa berarti bahwa ke depan akan semakin banyak orang yang mengunjungi tempat ini.

Akan sangat menyedihkan pabila suatu saat taman bermain anak-anak ini dikotori oleh tangan-tangan yang lebih mementingkan untuk memuja penampilan diri melalui tampilan sosial media, tanpa memedulikan alam sekitar Wairinding. Tempat ini akan tak indah lag dan bahkan tak akan ada lagi bukit seindan dan seasri sekarang ini, akibat perbuatan manusia.

Wairinding, semoga tetap alami dan asri I dokpri
Wairinding, semoga tetap alami dan asri I dokpri
Wairinding sangat indah, ada Aga dan teman-teman mereka disana. Menikmati alam Wairinding, bersahabat dengan alam, akan memberikan masa depan yang baik bagi mereka.

Mari kita gerak bersama demi keindahan Wairinding sambil mengingat pepatah Sumba Timur, Laku Nduta Hada Pera, "jalan berurutan, bangun bersama" yang artinya berbuat bersama untuk kebaikan semua.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun