"Om, foto om.." ujar anak kecil bercelana merah mengagetkanku. "Wah, hati-hati bermain disini" jawabku spontan ketika sedang menikmati pesona keindahan bukit Wairinding. Baru beberapa menit saya berdiri di puncak bukit ini. Waktu tempuh sekitar 30 menit dalam jarak 25 Km dari Waingapu dipuaskan dengan pemandangan yang mengagumkan ini.
Nama anak itu "Umbu" Aga, anak laki-laki Sumba Timur berusia sekitar 4 tahun. "Umbu" adalah panggilan untuk anak laki-laki asal Sumba. Anak ini "menemani"ku selama berada di perbukitan Wairinding yang cantik dengan guratan celah-celah seperti kawah.
"Hati-hati Aga.." . Sudah lebih dari satu kali saya mengatakan hal yang sama kepada Aga. Tak kenal takut, Aga melompat lincah diantara bukit dengan mayoritas bebatuan putih yang kiri kanannya adalah jurang.
Bukit Wairinding yang tenang ini bagi Aga adalah taman bermain. Aga tak takut berperosotan agak jauh ke bawah bukit mengikuti saya dan beberapa rekan yang turun demi mendapatkan spot yang lebih bagus.
"Agaa..." teriak beberapa temannya yang sedikit lebih tua darinya. Mereka mungkin heran mengapa Aga berlaku akrab dengan kami. Saya sempat memanggil mereka untuk bergabung, tetapi mereka tak mau. Mungkin malu, mungkin juga takut.
Wajar saja, taman bermain anak-anak Desa Pambota Jara, Kecamatan Pandawai dimana bukit Wairinding ini berada memang sudah "tak bebas" seperti dulu. Tempat ini mulai ramai dikunjungi setelah digunakan sebagai salah satu lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas yang disutradarai oleh Mira Lesmana.
Jika datang di musim penghujan, Januari hingga Juni, permadani itu akan berwarna hijau. "Mirip bukit-bukit di New Zealand" ujar salah seorang rekan. Sedangkan jika datang di atas periode Juli-Oktober, maka hamparan rumput perbukitan ini akan berwarna kuning. "Eksotis, seperti di Afrika" kata teman yang sama. "Apalagi jika Sunset..." tambahnya.
Bagi saya, bukit Wairinding adalah ketenangan dan kedamaian. Berdiri, duduk hingga rebahan beralaskan rumput dan merasakan semilir angin sambil melihat bukit-bukit ini membuat hati terasa nyaman. Memang terkadang ketika melihat keindahan alam sebagai ciptaan Tuhan, menjadikan kita lebih mudah bersyukur saat menjalani kehidupan yang dianugerahkan ini.
Landscape Wairinding memang masih alami dan luar biasa indahnya, dibalut padang rumput dan savana bukit-bukit ini tampak seperti sebuah lukisan. Lukisan yang dilukis oleh sang Pelukis Agung.
Permadani surga ini memang adalah surga bagi mereka. Jika saya dan rekan-rekan pengunjung memandangnya sebagai obyek yang bisa dijadikan sebagai spot terbaik berinstagram, tetapi bagi beberapa orang desa, mereka menjadikan ini sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Sontak kesadaran saya digugah dalam bentuk kekuatiran, terutama soal efek negatif jika sudah terlalu banyak wisatawan atau pengunjung yang datang.
Jujur, cukup banyak sampah plastik yang sudah saya temukan di bukit Wairinding ini. Artinya banyak oknum pengunjung yang belum memiliki kesadaran untuk menjaga tempat wisata yang masih alami ini agar tetap bersih.
Belum ada tempat sampah dan fasilitas yang memadai. Namun meskipun demikian, jika kita peduli kehidupan Aga Cs dengan taman bermainnya dan beberapa warga yang menaruh harap pada lahan perkebunan mereka, maka seharusnya itu menggugah kesadaran kita, khususnya kesadaran menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungan.
Akan sangat menyedihkan pabila suatu saat taman bermain anak-anak ini dikotori oleh tangan-tangan yang lebih mementingkan untuk memuja penampilan diri melalui tampilan sosial media, tanpa memedulikan alam sekitar Wairinding. Tempat ini akan tak indah lag dan bahkan tak akan ada lagi bukit seindan dan seasri sekarang ini, akibat perbuatan manusia.
Mari kita gerak bersama demi keindahan Wairinding sambil mengingat pepatah Sumba Timur, Laku Nduta Hada Pera, "jalan berurutan, bangun bersama" yang artinya berbuat bersama untuk kebaikan semua.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H