Partai klasik antara Persija Jakarta melawan PSMS Medan di leg pertama Semifinal Piala Presiden 2018 seperti yang diperkirakan sebelumnya, berlangung menarik. Kedua tim saling bertukar serangan, terutama di babak kedua. Namun akhirnya  dalam 90 menit, Persija berhasil menjinakkan PSMS 4-1.
Tiga gol dari Marko Simic dan sundulan Jaime Xavier hanya bisa dibalas satu gol rebound dari Striker PSMS, Yaissoh. Â Apa yang membuat Persija mampu menaklukan PSMS? Catatan saya paling tidak ada 3 hal yang membuat Persija mampu menang atas PSMS.
1. Keunggulan Ball Possesion.
Sehari sebelum pertandingan, pelatih Stefano "Teco" Cugurra berkomentar tentang gaya main kedua tim yang berbeda. Â "Ada tim dengan ball possesion (penguasaan bola) lebih lama, ada tim dengan strategi serangan balik. Â Kami fokus pada tim kami saja, tetapi kami sudah tahu kekuatan PSMS Medan" ucap pelatih yang disapa Teco ini.
Tentu saja, penikmat bola menunggu apakah taktik ball possesionTeco akan mampu menjinakan counter attack milik PSMS Medan yang terkenal mematikan? Atau kedua tim akan mencoba merubah taktiknya di laga ini?
Teco ternyata tetap mengarahkan anak asuhnya untuk memainkan dan menguasai bola lebih banyak dari PSMS. Agresifitas mengejar bola dan aktif terus mengalirkan bola membuat Persija terlihat seperti mendikte PSMS, terutama di babak pertama.
25 menit babak pertama menjadi neraka bagi PSMS karena ketika Persija memainkan strategi ini, mereka dipaksa seperti penonton di lapangan. Hasilnya 3 gol terjadi dalam periode ini. Persija terlalu banyak mendapat peluang  dan tendangan bebas karena terlampau sering menguasai bola.
Penguasaan bola ini terjadi karena lini tengah dan lini belakang PSMS kurang melakukan pressingterhadap pergerakan  para pemain Persija. Marko Simic, Riko Simanjuntak, Novri Setiawan dan Ramdani Lestaluhu terlampau mudah bergerak ke segala sisi lapangan. Apalagi Sandi Suthe dan Rohit Chand sukses melakukan covering terhadap daerah yang kosong.
Sepertinya pelatih PSMS, Jajang Nurjaman memerintahkan anak asuhnya untuk memainkan zona marking, seraya menunggu saat yang tepat untuk melakukan serangan balik. Sayang, Jajang lupa, zona marking terlalu sulit dilakukan terhadap lawan yang pemainnya selalu rajin dan cepat bergerak.
Melihat kemampuan Teco memainkan strategi ini, saya jadi teringat apa yang dikatakan oleh Pep Guardiola. "I Want the ball for 90 minutes. When I don't have the ball, I go high pressing because I want the ball" Â ucap Pep Guardiola suatu waktu. Jujur, di babak pertama jelas sekali, hanya Persija yang terlihat menginginkan bola.
2. Lini Tengah yang sempurna.
Babak kedua PSMS mulai mencoba untuk merubah gaya bermain. Jarak antara lini depan, lini tengah dan belakang direduksi dengan pressing ketat terhadap para pemain Persija, terutama Simic dan Ramdani. Hasilnya, ruang bagi Marko Simic menjadi lebih sempit. Duet bek tengah PSMS, M. Robi dan Lobo terlihat lebih berani beradu fisik dengan Simic.
Awalnya berhasil, namun strategi pressing ini membutuhkan lini tengah yang secara fisik dan skill mampu memperagakannya secara konsisten. Harus diakui untuk hal ini lini, tengah PSMS tidak memiliki kemampuan untuk itu. Sedangkan, lini tengah Persija terlihat mumpuni.
Ramdani Lestaluhu dibiarkan ruang gerak yang bebas oleh Teco, baik itu bertukar peran dengan Riko Simanjuntak maupun dengan Novri Setiawan. Lalu bagaimana ketika ada ruang yang kosong yang ditinggal mereka ketika tim sedang asyik menyerang?. Rohit Chand dan Sandi Suthe selalu ada di sisi dimana PSMS mengintip untuk menyerang balik.  Kedua pemain ini seperti tak pernah habis tenaganya, hal ini membuat lini tengah Persija telrihat  seimbang sempurna di pertandingan ini.
Hal ini berbeda jauh dengan lini tengah PSMS. Peran dari Suhandi hampir tidak terlihat di lapangan. Sedangkan Alwi dan Legimin Rahardjo meskipun mempunyai daya juang, namun harus diakui pengalaman Alwi dan kekuatan fisik Legimin masih kalah dari para pemain Persija.
Legimin Rahardjo mungkin mampu berduel dengan pemain lawan , namun untuk mengejar dan memotong bola-bola cepat, Legimin terlihat kerepotan . Akibatnya, Frits Batuan yang seharusnya fokus di depan harus turun lebih jauh dari posisinya untuk membantu pertahanan atau menjemput bola. Serangan balik yang seharusnya cepat dari PSMS, menjadi lebih lamban.
Di leg kedua, Coach Jajang harus berpikir untuk menambah gelandang lebih muda dan pekerja di lini tengah jika ingin mengimbangi lini tengah Persija. Dan apabila harus, Â pelatih juga jangan sungkan untuk mengganti skipperLegimin, jika dianggap sudah lelah atau tidak efektif lagi di lapangan.
Harus diakui bahwa Teco lebih cerdas dan berani melakukan pergantian pemain dengan mengeluarkan Rohit Chand dan mengganti dengan pemain yang lebih muda dan bertenaga. Hasilnya, 1 gol tambahan dihasilkan Persija di babak kedua.
3. Marko Simic yang memang Super
Pembeda lain dari pertandingan ini adalah "Super Simic". Marko Simic menjadi fenomena di turnamen ini. Simic menambah keran golnya menjadi 8 gol sekaligus menjadi top skor sementara turnamen ini. Rasanya Simic akan sulit dikejar untuk meraih gelar top scorer.
Fenomena Simic bukan saja berbicara tentang ketajamannya, tetapi harus diakui dari kecerdasannya. Sebagai seorang target man, Simic bukanlah striker yang malas. Simic sering membuka ruang, menjemput bola bahkan membantu pertahanan ketika timnya diserang.
Gaya bermain ini semakin komplit, karena Simic mampu mencetak gol hampir dalam segala skema. Sebagai pegambil tendangan bebas, menyundul dalam skema bola mati, tendangan luar kotak atau predator di kotak penalti, Simic mampu melakukan semuanya. Malah saya berpikir, entah dianggap tidak nasionalis, tetapi jika Simic bisa dinaturalisasi, naturalisasi saja sekarang.Â
Teco sadar benar peran Simic yang teramat penting. Sesudah mencetak hattrick, Teco menarik Simic keluar. Teco sadar bahwa Simic harus dipersiapkan juga secara fisik untuk leg kedua yang pasti akan lebih sulit bagi Persija.
Bagaimana cara menghentikan Simic?. Beradu fisik dengan Simic mungkin adalah sebuah keniscayaan, kecuali bek PSMS asal Brasil, Lobo konsisten melakukan itu di leg kedua. Selebihnya, saya pikir berusaha mengganggunya dalam sisi non teknis, seperti membuat Simic emosi, bisa jadi salah satu strategi.
Striker semodel Simic, selalu mudah terprovokasi, bisa dibandingkan dengan Luis Suarez atau Diego Costa. Siapa yang mampu melakukannya? Seharusnya Lobo. Terlihat beberapa kali Lobo berusaha memprovokasi Simic, sayang selain tidak dilakukan sejak babak pertama, Lobo malahan yang lebih gampang terprovokasi.
Cara kedua, meskipun sedikit lebih sulit, namun menghentikan aliran bola untuk Simic adalah salah satu cara terbaik. Hampir 80 persen bola untuk Simic dimulai dari pergerakan sayap aktif dari Riko maupun Novri Setiawan. Jika kedua sayap ini dimatikan di leg kedua, PSMS dapat berharap banyak. Namun jika tidak berhasil, dentuman Super Simic rasanya akan menggelegar lagi di kandang PSMS.
Hari senin nanti, giliran PSMS yang akan menjadi tuan rumah. Penikmat sepak bola berharap Coach Jajang akan menemukan ramuan terbaik bagi PSMS. Minimal membuat adrenalin penonton  meningkat dengan mencetak gol lebih dahulu. Selebih itu, marjin 3 gol terlalu berat bagi PSMS. Keajaiban?. Bisa saja terjadi. Arema pernah melakukan itu ketika berhadapan dengan Semen Padang di semifinal Piala Presiden 2017. Saat itu tertinggal 2 gol, Arema berbalik menghantam Semen Padang agregat skor 5-3.Â
 Apakah kali ini giliran PSMS yang melakukan keajaiban? Tak ada yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H