Bagi Andrea Pirlo, bermain sepak bola adalah kesempatan menebar kebahagiaan. Mengambil bola, memberikannya kepada rekan setim, dan melihat gol tercipta karena kontribusinya. Pirlo menyebutnya sebagai sebuah umpan (Assist) dan dengan cara itulah Pirlo menebarkan kebahagiaan.Â
Menebarkan kebahagiaan bukanlah hal yang gampang dilakukan, apalagi di dalam dunia yang semakin egosentris ini. Banyak orang yang tidak rela dan mau membagikan kebahagiaan yang dimilikinya. Soal ini, novelis Kanada, W.P Kinsella dengan sedih dan penuh sindiran mengatakan seperti ini, " Jika Kebahagiaan yang tidak dibagikan, hampir bisa disebut kebahagiaan, tetapi tidak memiliki rasa".
Sindiran yang dibahasakan dengan lebih praktis oleh Mother Teresa dengan perkataan singkat bernasnya mengenai kebahagiaan, "Kebahagiaan hanya nyata saat dibagikan (ketika kesempatan datang)".
Kenapa kata kebahagiaan itu harus berdampingan dengan kata kesempatan ?. Jawabannya sederhana, kesempatan itu terbatas dalam ruang dan waktu. Sehingga selama diberi waktu untuk berbagi kebahagiaan, berbagilah. Karena ada masanya ketika kesempatan itu tak akan ada dan datang lagi.
Bagi Pirlo, kesempatan yang segera berakhir inilah yang disebut dengan panggilan untuk pensiun. "Anda menyadari waktunya sudah tiba," ujar Pirlo seperti yang dikutip dari La Gazzetta dello Sport (08/10/2017).
Baru Maret kemarin, Pirlo mengatakan ingin bermain sampai 10 tahun lagi. "Tentu saja saya masih ingin bermain untuk 10 tahun lagi, karena saya menikmati melakukan hal ini dan bermain sepakbola adalah hal terindah yang saya lakukan," kata Pirlo kepada Football Italia.
Tak dapat dipungkiri bahwa Pirlo adalah salah satu pesepakbola yang dapat mewujudkan keindahan itu nampak dari sepak bola. Berbagai julukan menggambarkan hal itu. Mulai dari Il Metronomeyang menggambarkan permainan Pirlo seperti instrumen musik yang mampu menyelaraskan dan memperindah nada yang diciptakan.
Selain itu rekan-rekannya menjuluki Pirlo sebagai 'I'architetto'atau Sang Arsitek, karena umpan-umpannya dari jarak jauh sekalipun kerap menciptakan peluang gol untuk timnya.
Lahir pada 19 Mei 1979, Pirlo berbangga memulai karir bagi klub di kota kelahirannya, Brescia. Tak perlu waktu lama bagi Pirlo untuk memperoleh debutnya. Pirlo melakoni debutnya di kasta tertinggi sepak bola Italia, Seri A pada 21 Mei 1995, hanya dua hari setelah berulang tahun ke-16. Ia pun tercatat menjadi debutan termuda dari Brescia
Walau berusia muda, aura bintang Pirlo sudah terlihat. Â "Yang paling mengesankan dari Andrea adalah kebijaksanaan taktiknya. Dia tak sekadar punya teknik, tapi juga mampu membuat orang lain bermain lebih baik, serta menyeimbangkan tim," ujar Eugenio Corini, senior sekaligus teman Pirlo.
Untuk ini ada dua hal yang diperlukan oleh seorang calon bintang, yaitu skill mumpuni dan ketenangan karakter. Untuk yang pertama, tak usah diragukan lagi. Bahkan legenda Milan asal Polandia, Zbigniew Boniek, memberikan komentar sempurna untuk pemain yang pernah bermain untuk tiga raksasa Italia, Inter Milan, AC Milan dan Juventus. "Mengoper bola kepada Andrea Pirlo sama seperti menyembunyikannya di tempat yang aman," kata Boniek.
Untuk ketenangan bermainnya, pelatih yang ikut membesarkan Pirlo di tim nasional Italia, Marcelo Lippi mendeskripsikan dengan baik. "Andrea adalah seorang pemimpin yang sunyi (silent leader). Dia berbicara dengan kakinya," ujar Lippi.
Kapasitas inilah yang menjadi kendaraan bagi Pirlo untuk meraih sejumlah gelar.  Mulai dari enam gelar Serie A (6)- 2003-04, 2010-11, 2011-12, 2012-13, 2013-14, 2014-15. Dua gelar Champions League - 2002-03, 2006-07. Dua Gelar Coppa Italia - 2002-03, 2014-15, tiga gelar Supercoppa Italiana - 2004, 2012, 2013 dan gelar World Cupbagi Italia tahun 2006.
Sederet gelar inilah yang membuat pesepakbola yang meninggalkan Juventus pada tahun 2015 ini langsung diikat kontrak oleh klub MLS, New York City. Pirlo menjadi salah satu Marquee Player MLS yang paling berharga dan tentunya berkualitas. Di kompetisi tahun 2017 saja, meski sudah beranjak uzur, Pirlo masih dipercaya melakoni 15 laga bagi NYCFC.
Namun meski Pirlo ingin berteriak seperti Chairil Anwar dalam puisi berjudul Aku, agar dapat hidup seribu tahun lagi, namun di usia 38 tahun ini, Pirlo mendapati bahwa dia tetaplah manusia biasa yang dapat mengalami masalah fisik dan harus pensiun sebagai pesepakbola. "Setiap hari Anda punya masalah fisik. Anda tidak bisa berlatih sesuka hati karena masalah selalu datang." kata Pirlo berusaha jujur untuk keadaannya.
Bagi Pirlo semuanya sudah cukup, dan saatnya dia untuk berpikir masa depannya di luar lapangan. Jujur dengan kelemahan fisik bagi Pirlo bukanlah sebuah kemunduran namun sebuah langkah positif untuk kemajuan sepak bola itu sendiri. Â "Di usia 38 Anda harus memberi ruang utuk pemain yang lebih muda. Saya tidak kecewa. Saya akan membantu rekan setim dan pelatih." ujar Pirlo tampil bijak.
Sang Maestro akhirnya mengatakan bahwa sudah cukup. Akhir musim MLS tahun 2017 ini juga akan menjadi akhir penampilan kompetitif di level klub bagi Pirlo setelah pensiun secara resmi dari timnas Italia pada tahun 2015.
Apakah Pirlo akan kehilangan kebahagiaan yang didapatkannya selama ini setelah nanti pensiun? Desas-desusnya Pirlo akan kembali ke Italia dan juga berpikir untuk menjadi asisten Antonio Conte. Bagian dari mengejar kebahagiaan yang lain? Mengejar kebahagiaan adalah hak setiap orang, jika kebahagiaan itu memang ditakdirkan untuk seseorang, maka kesempatan itu akan segera datang mengapit kebahagiaan itu. Tentu saja Andrea Pirlo berhak untuk itu meski telah pensiun sebagai seorang pemain.Â
Jika anda adalah seorang pensiunan, mari berbahagialah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H