Pertandingan antara Juventus melawan Torino sudah selesai dini hari tadi. Pertandingan bertajuk Derby della Mole tersebut berakhir imbang 1-1. Torino unggul terlebih dahulu melalui tendangan bebas Adam Ljajic pada menit ke-52. Juventus baru berhasil menyamakan kedudukan melalui tendangan voli striker andalan mereka, Gonzalo Higuain di injury time. Hasil yang membuat Juventus harus menunda pesta scudetto mereka.
Di balik hasil tersebut, memang derby Turin tersebut selalu menyajikan permainan ketat, keras dan seru sepanjang pertandingan. JIka sudah bertemu di lapangan, hampir tak ada perbedaan jurang pemisah antara kedua klub. Juventus yang bertabur bintang kelihatan setara dengan Torino yang kali ini mengandalkan pemain minim pengalaman. Sesuatu yang patut dibanggakan ketika derby tertua dalan sejarah sepak bola Italia itu dipertandingkan.
Derby pertama antara kedua tim terjadi pada tanggal 13 Januari 1907. Torino yang didirikan oleh mantan Presiden Juventus, Alfredo Dick pada tahun 1906 secara mengejutkan berhasil mengalahkan Juventus 2-1. Torino tampil sangat ngotot dalam pertarungan itu.
Kengototan itu memang menunjukkan bagaimana latar belakang kedua pendukung itu sebenarnya. Torino dikenal memiliki suporter dari kalangan kelas pekerja, sebaliknya Juventus mempunyai basis pendukung dari kelas menengah. Torino mempunyai fans dari kalangan miskin sebaliknya Juventus dari kalangan Borjuis.
Kedua kelas ini terbentuk tidak dengan sendirinya. Apalagi sejak setelah perang dunia I, Juventus dipimpin oleh keluarga Agnelli, pemilik FIAT Grup, perusahaan otomotif terbesar di Italia. Sedangkan Torino, berjuang mencari massa dari sisanya, masyarakat pinggiran.
Wajah dukungan suporter yang berbeda segi sosial dan ekonomi ini menjadikan sentimen-sentimen antar kelas itu menjadi bumbu yang sangat terasa sebelum, ketika dan sesudah pertandingan. Kekerasan antar kedua pendukung kerap terjadi, dan biasanya dipanas-panasi oleh saling ejek dan gesture pemain sesudah mencetak gol ke gawang lawan.Dalam duel 2001/2002 Enzo Maresca yang mencetak gol ke gawang Torino dan menaruh kedua tangan di atas kepala membentuk tanduk banteng. Siapa sebenarnya bantengnya, El Toro, Torino. Sesudah pertarungan, pendukung Torino membakar bangku penonton di Delle Alpi.
Meskipun begitu, Torino sebenarnya bukanlah klub kelas gurem, malah Torino pernah dikenal sebagai penguasa sepak bola Italia. Pada kisaran 1943-1949, Torino menjadi juara Seri A. Torino seperti tidak tertahankan di Italia. Torino menjadi tim tertangguh di Italia dan dikenal sebagai “The Grande Torino”. Torino terhebat.
Namun peristiwa tragis menghentikan itu semua. Pesawat yang membawa pulang skuad Torino dari Lisabon, Portugal ke Turin harus hancur berkeping-keping setelah menabrak bukit Superga. 31 penumpang tewas seketika, dan 18 dari 31 orang itu adalah skuad inti Torino.
Salah satunya adalah kapten, Valentino Mazzola. Pemain paling karismatis di Italia waktu itu, sekaligus ayah dari Sandro Mazzola, legenda Inter Milan. Tragedi itu dinamakan dengan Tragedi Superga. Sesudah itu, Torino seperti harus memulai dari nol kembali. Sangat menyakitkan karena semusim kemudian Juventus lah yang meneruskan menjadi raja di Italia.
Tahun 2014, suporter Juventus dikecam habis karena menggunakan tragedi tersebut sebagai bahan ejekan kala menjamu Torino di JStadium. Meskipun Juventus telah dihukum denda, Sandro Mazzola berteriak keras memprotes hal tersebut. "Saya katakan, stadion harus ditutup selama satu tahun, bahkan mungkin selamanya. Hanya di Italia hal semacam ini terjadi," ujar Mazzola.
Seperti sudah belajar dari kesalahan, tadi pagi pertarungan Derby Turin di JStadium itu jauh dari chants negatif semacam itu lagi. Saling hina dan saling benci masih dalam batas kewajaran dukungan antar kedua belas fans saja. Mungkin juga suasana sejuk ini disebabkan karena pertandingan ini waktunya berdekatan dengan tanggal peringatan Tragedi Superga yang baru beberapa hari yang lalu.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa sepak bola itu sebenarnya dapat mempersatukan. Arti Derby della Mole ini juga menyiratkan pesan senada. Molle sendiri berasal dari nama sebuah gedung megah bernama Mole Antonelliana yang terletak di tengah kota Turin. Gedung yang menjadi landmark seperti Monas di Jakarta ini pada awalnya dibangun sebagai tempat peribadatan bagi orang Yahudi (Sinagoge) namun pada Tahun 2000 dirubah menjadi tempat museum Film nasional.
Kehadiran Mole Antonelliana sejatinya adalah simbol kesatuan yang mempersatukan kedua pendukung kesebelasan, biarlah hitam putih, merah marun dalam pertandingan, namun tetaplah satu sebagai warga Turin yang istimewa. Dukungan di lapangan boleh berbeda tetapi dalam keseharian kita sama. Itu pesan mendalam dari Mole Antonelliana.
Pesan mendalam ini juga sempat disampaikan oleh dua pilar kedua klub, Paulo Dybala (Juventus) dan Juan Iturbe (Torino) melalui gesture kemanusiaan mereka. Pada Januari 2017 Dybala dan Iturbe bersama-sama turun langsung membantu para gelandangan yang ada di jalanan Turin.
Terlibat bersama dalam sebuah gerakan kemanusiaan, Dybala dan Iturbe membagi-bagikan selimut tebal kepada para gelandangan di Kota Turin. Dua orang yang berbeda jikalau berbicara tentang tradisi rivalitas kedua klub, tetapi satu sebagai penghuni Turin. Inspiratif.
Sepak bola sebenarnya mengikis itu semua. Mayoritas, minoritas tak dikenal dalam sepak bola. Perbedaan status sosial, kaya miskin, suku, agama tidak mendapat tempat dalam sepak bola. Malahan sepak bola membuat nilai-nilai kemanusiaan terpancar menjadi satu-satunya pandu.
Derby sudah berakhir. Saatnya menjadi warga Turin yang baik. Ada waktu membenci Juventus, dan menghina Torino tetapi atas dasar kemanusiaan, jangan pernah tenggelamkan Turin.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H