Difabel butuh perlakuan yang sama
Perlakuan kita yang cenderung untuk menghargai daripada mengasihani mereka serta merta akan mendukung dan juga sesuai dengan UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
UU No 4 Tahun 1997 itu menegaskan bahwa Penyandang cacat berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dan mendapat perlakuan yang sama dan tanpa diskriminasi
Pemerintah sudah menunjukkan wujud nyata dukungannya dengan melakukan pelatihan ketrampilan para penyandang cacat untuk meningkatkan kemampuan dan kapabilitas penyandang disabilitas.
Peraturan perundangan memang mengatur bahwa diantara 100 orang pekerja minimal ada satu pekerja difabel. Namun Difabel diharuskan bekerja disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya.
Walaupun butuh waktu, tetapi beberapa teman difabel sudah menunjukkan kerja keras mereka dengan performa yang baik dan tak kalah ketika diberikan kesempatan untuk bekerja.
Sebagai contoh, seorang teman tuna daksa bernama Yuan yang bekerja di sebuah Bank malahan dipuji pimpinannya karena produktivitasnya yang tinggi.
“Yuan menunjukkan bahwa penerimaan dirinya bukan karena peraturan perundangan tetapi jelas karena kualitasnya. Perusahaan tidak merasa rugi merekrutnya,” begitu testimoni pimpinan tempat Yuan bekerja.
Butuh waktu untuk edukasi terhadap masyarakat
Kisah Yuan adalah sedikit dari bagaimana difabel diperlakukan dengan adil dan sama. Tetapi masyarakat kita bahkan difabel sekalipun belum terlatih untuk memiliki pola pikir dan pola laku yang mendukung undang-undang yang ada.
Terlihat bahwa masyarakat kita memang belum “sadar difabel”. Keluarga yang memiliki anak seorang difabel seringkali “mengasingkan” anaknya dari pergaulan sekitar. Terkadang keluarga merasa malu dan akhirnya menular kepada kondisi psikologis anak penyandang disabilitas.