Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pelangi Ekonomi dalam Kesuraman Global

8 Februari 2024   23:06 Diperbarui: 9 Februari 2024   08:47 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peraga-4 : Efek Domino - sumber : Arnold M

Era Abad XXI

Dua dekade telah berlalu dan tiap dekade hadir krisis yang berdampak global masing-masing Great Recession 2008 dan Pandemi COVID-19 pada 2020. Dalam kepedulian terhadap perubahan iklim yang diusung mantan Wakil Presiden Al Gore, dunia terkesima dengan arus Ekonomi Hijau yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan pengendalian atau penanganan masalah lingkungan agar mampu menanggulangi masalah pemanasan global dan polusi. 

Dalam realitasnya pertumbuhan ekonomi global pasca Great Recession 2008 trennya turun demikian pula pasca Pandemi COVID-19 perekonomian belum pulih seperti kondisi Pra Pandemi.

Apakah yang dimaksud dengan Pelangi Ekonomi ? Pemahamannya diberikan pada Peraga-1 dengan mengaitkan warna dan arus serta mahza perekonomian yang seakan antagonis terhadap Main Stream Economy (Arus Utama Perekonomian).

Peraga-1 : Colour Economy Input - source : Arnold M
Peraga-1 : Colour Economy Input - source : Arnold M
Warna-warni ekonomi sering disebut dan gambarannya secara sederhana adalah sebagai berikut.

1. Brown Economy (Cokelat) : berkaitan dengan ekploitasi sumber daya alam yang dimiliki yang erat dengan energi fosil dan komoditas mineral seperti besi, tembaga, timah, nikel dan berbagai material lainnya

2. Green Economy (Hijau) : Sering disebut sebagai Ekonomi Lingkungan yang selalu dikaitkan dalam setiap kegiatan pembangunan dan kepedulian terhadap alam agar terus dapat memberikan lingkungan kehidupan yang layak

3. Blue Economy (Biru) : Erat berkaitan dengan peduli terhadap lingkungan dengan mengendalikan polusi, mendaur ulang sampah, pemanfaatan sumber daya laut secara bijak dan pengembangan wisata serta energi terbarukan

4. Golden Economy (Emas) : Pengendalian dampak eksploitasi lingkungan dan eksploitasi sumber daya terbarukan terutama pada energi dengan pemanfaatan Renewable Energy seperti solar, wind, ocean, panas bumi, hidrogen

5. Purple Economy (Ungu) : Pengarusutamaan beragam isu sosial dan kemasyarakatan dan meningkatkan kualitas hidup bagi segenap umat manusia juga sikap kebersamaan atau komunilitas

6. White Economy (Putih) : Pengutamaan pada penyelenggaraan layanan kesehatan dan pendukungnya serta pola hidup sehat serta mencapai kualitas hidup dalam kesetaraan dan keadilan serta perlakuan yang sama (inklusif)

7. Silver Economy (Perak) : Pemanfaatan yang mengarusutamaka platform Digital dengan berbagai bentuk inovasi & kreativitas serta bersifat terbuka untuk partisipasi tanpa segregasi

8. Red Economy (Merah) : Pengelolaan sumber daya yang berkaitan dengan konsumsi dan produksi pada tingkat kewajaran dan tidak ada segregasi atau pemenuhan bagi semua

9. Grey Economy (Kelabu) : Pelaksanaan ekonomi yang terkesan legal dan wajar namun mencoba memanipulasi atau mengeksploitasi hal perpajakan atau kewajiban

10. Black Economy (Hitam) : Pelaksanaan kegiatan secara ilegal / melanggar hukum, bawah tanah (under ground) dengan berbagai bentuk penyelewengan dan korupsi serta praktek usaha narkoba, trafficking

Sebagai pembelajaran perlu ditinjau secara ringkas kinerja perekonomian negara dengan warna ekonomi yang diusung.

1. Brown Economy : sebagai contoh negara di South America, Africa, Middle East, North Africa, Africa, Federasi Rusia, dan tentunya Indonesia - secara sederhana pertumbuhannya medioker bahkan rendah di South America, North Africa, Middle East. Apakah dengan pilihan Brown Economy lantas berdampak pada lingkungan dan efek pemanasan ? Secara sederhana tidak terjadi bencana.

2. Green Economy : diadopsi negara di EU dan North America yang mengusung hal perubahan iklim dan polusi serta energi hijau. Faktanya EU mengalami krisis saat terjadi blokade gas sejalan dengan invasi Rusia terhadap Ukraina - juga sangat terdampak akibat Pandemi Covid-19. Fakta ini memberikan dugaan bahwa Ekonomi Hijau tidak menghadirkan ketahanan atau Resilience.

3. Blue Economy : negara yang dipandang telah mengadopsi antara lain India, China, Vietnam. Secara umum memang dapat dikatakan kinerja perekonomiannya stabil dan dalam beberapa hal misalnya infratruktur dapat dikatakan unggul dibandingkan negara sekitarnya juga kinerja wisata. Secara geografis Indonesia mirip dengan India dalam lingkup Indian Ocean Rim demikian juga dengan Vietnam dengan South China Sea. Kondisi ini mengingatkan agar Indonesia beralih ke Blue Economy.

4. Golden Economy : dari sudut pandang energi, belum ada negara yang berhasil menghadirkan ketahanan energi dengan menggunakan berbagai bentuk Energi Terbarukan; bahkan energi fosil masih menjadi andalan.

5. Purple Economy : secara sederhana dapat merujuk pada negara Nordic di Europe seperti Denmark, Norway, Finland, Sweden yang sangat memperhatikan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dan kualitas hidup. Umumnya negara Nordic populasinya kurang dari 10 juta kecuali Sweden yang hampir mencapai 11 juta.

6. White dan Silver Economy : dapat ditinjau secara bersamaan dengan mengarusutamakan aspek kesehatan dan kualitas hidup serta aspek digital dalam kehidupan. Memang masalah kesehatan menjadi utama seperti juga koneksi digital tetapi faktanya pertumbuhan pesat teknologi digital pasca Great Recession 2008 tidak memberikan bangkitan pada pertumbuhan ekonomi.

7. Red Economy : merupakan upaya efisiensi dalam pengelolaan sumber daya. Japan, Taiwan, South Korea merupakan contoh yang mengarusutamakan efisiensi dan berhati-hati dalam pemanfaatan sumber dengan pertimbangan utama karena keterbatasan atau kelangkaan (scarcity) sumber daya alam.

8. Grey dan Black Economy : merupakan dua hal yang mirip yaitu pada praktek yang tidak wajar. Negara yang kental dengan manipulasi dan korupsi memang akan rawan tetapi jika menilik pada catatan masa lalu negara yang berhasil lolos pendapatan menengah seperti Japan dengan kasus Tanaka, Taiwan dengan era Chiang Kai Shek dan South Korea era Presiden Park Chung Hee juga tidak luput dari kasus korupsi. Contoh ini bukan untuk konklusi : Korupsi itu perlu agar lolos perangkap pendapatan menengah.

Lantas muncul pertanyaan usil : Pasca Jokowinomics yang konon kental dengan Green Economy, warna apa yang akan dipilih ?

Greenflation vs Stagflation dan Krisis Dekade

Diksi Greenflation muncul di permukaan saat acara debat walaupun dalam perjalanan waktu muncul bantahan terhadap pemahamannya yang tidak tepat. Greenflation merupakan implikasi dari upaya yang dilakukan dengan pilihan Green Economy. 

Dalam kajian yang disusun Perusahan Konsultan Mc Kinsey dan dipublikasi oleh World Economic Forum  muncul pernyataan bahwa Green Economy is Expensive. Pada Peraga-2 diberikan screenshoot judul kajian tersebut.

Peraga-2 : Green Economy is Expensive source : World Economic Forum
Peraga-2 : Green Economy is Expensive source : World Economic Forum

Jika memang Green Economy dengan implikasi Greenflation apakah akan tetap mengusung Green Economy ? Dalam kondisi ini perlu memahami kondisi global yang terjadi yaitu Stagflation seperti diberikan pada Peraga-3.

Peraga-3 : Stagflation Phenomena - source : Arnold M
Peraga-3 : Stagflation Phenomena - source : Arnold M

Jika Greenflation merupakan implikasi atau akibat, Stagflation merupakan realitas yang dihadapi berbagai negara dengan fenomena :

1. Tekanan pertumbuhan ekonomi yang erat kaitannya dengan penurunan investasi

2. Tekanan lapangan kerja sehingga meningkatkan pengangguran (unemployment); hal ini terjadi akibat minimnya investasi

3. Gelombang inflasi yang terus berlangsung yang berakibat Bank Sentral berupaya mengendalikannya dengan menaikkan suku bungan pinjaman. Faktanya kenaikan suku bunga tidak mampu menjinakkan inflasi (contoh kenaikan FED Effective Rate tidak meredakan gejolak inflasi di US); namun minat investasi turun sehingga dalam waktu panjang akan kembali menekan pertumbuhan.

4. Tekanan hutang yang merupakan bahaya laten bagi negara yang harus berhutang untuk menutupi defisit anggaran. Selain negara, korporasi mengalami tekanan hutang yang berdampak diambil alih atau bangkrut jika gagal memenuhi kewajiban hutannya.

Selain hal yang disebut di atas, negara yang mengandalkan perdagangan komoditas juga mengalami tekanan pendapatan akibat penurunan harga dan pasokan yang berlebihan. Kondisi ini akan menimbulkan fenomena positive feedback karena penurunan harga komoditas akan menurunkan pendapatan ekspor yang berimplikasi penurunan impor. Gejala demikian dapat dipandang sebagai Deflationary Spiral dengan pasokan berlebihan akan menekan harga dan jika terus berlangsung akan terjadi Efek Domino (Peraga-4) berimplikasi global recession dan krisis yang menular.

Peraga-4 : Efek Domino - sumber : Arnold M
Peraga-4 : Efek Domino - sumber : Arnold M

Dengan memahami kondisi bahwa corona virus tidak tidak akan berakhir dan mutasinya terus berlangsung (lihat Peraga-5) berarti versi mutasi yang berkelanjutan dari Corona Virus akan datang entah dalam bentuk endemi atau bahkan pandemi.

Peraga-5 : Corona Virus & Mutation - source : Arnold M
Peraga-5 : Corona Virus & Mutation - source : Arnold M

Serangan lanjutan dari corona virus dapat disebut sebagai Pandemi Disease-X dengan pola kemunculan yang tidak dapat diduga seperti halnya infeksi COVID-19 yang hingga kini tidak ada kesimpulan terhadap sumber tularannya. Belajar dari kemunculan terdahulu seperti Flu Hongkong (dekade 1950-1960) - HIV/AIDS (dekade 1980) - SARS (Severe Accute Respiratory Syndrome : 2002/2003) - Swinde Flu (2009) - Ebola (2013) - COVID-19 (2020) maka dalam dekade 2030 ini pandemi akan muncul kembali.

Efek ledakan utang akan bergejolak pada pasar saham dan pasar uang. Merujuk pada tularan Krisis Asia dekade terakhir abad XX, contagion effect Great Depression 2008 dan Krisis Pandemi 2020 maka Krisis pada dekade ini diprakirakan akan muncul pada kisaran 2028 - 2030. Dari catatan Krisis Asia, Great Recession, Pandemi COVID-19 belum ada tindakan preventive atau pre-emptive terhadap kemungkinan Krisis Dekade yang akan terjadi; demikianlah kesuraman dunia yang ada dimuka.

Tematik Ekonomi Pasca Pilpres 2024

Pada artikel : Mengarusutamakan Pembangunan Infrastruktur dan Kawasan Perkotaan Indonesia Pasca Jokowi telah diberikan pandangan agar tetap mengarusutamakan pembangungan infrastruktur; sementara pada artikel : Menggugat Jokowinomics dan Lolos Perangkap Pendapatan Menengah telah diberikan beberapa catatan agar tidak mengulangi kesalahan dalam menentukan sektor strategis khususnya demi Lolos Perangkap Pendapatan Menengah sebelum mencapai usia 100 tahun NKRI.
Bukan bermaksud mengulas Pilpres; tetapi layak untuk memahami tematik dan strategi para peserta yang terdiri dari 3 (tiga) pasangan presiden dan wakil presiden yang menjanjikan pertumbuhan 7% masing-masing antara lain :

Paslon-1 dengan Transfornomika dengan melakukan transformasi / perubahan demi memperkuat pilar pertumbuhan ekonomi. 

Paslon-2 gemar dengan Maksinomika alias Program Makan Siang Gratis yang konon akan mendorong pertumbuhan sektor pangan. 

Paslon-3 dengan mengusung Manjursihnomika yang bermakna kemandirian, jujur, dan bersih

Yang mengganggu adalah narasi melanjutkan strategi atau tematik Jokowinomics yang justru tidak lebih baik dari pendahulunya dari ukuran pertumbuhan. Sementara untuk melewati rentang pendapatan menengah butuh tingkat pertumbuhan pada kisaran 8%. Gambaran pencapaian pertubuhan historis dan prediksi (optimis) masa mendatang diberikan pada Peraga-5.

Pertumbuhan PDB Historis dan Kelak - source : Arnold M dengan pengolahan
Pertumbuhan PDB Historis dan Kelak - source : Arnold M dengan pengolahan

Untuk tidak sekedar tumbuh medioker pada kisaran 5% tentu butuh perubahan yang akan berhadapan dengan resistensi atau penolakan dan waktu serta switching paradigm. Dengan pilihan warna ekonomi seperti diberikan di atas tentu butuh wawasan luas walaupun secara subyektif Blue Economy layak menjadi pilihan utama.

Melangkah Pasti

Apapun hasil pilpres perekonomian harus terus melangkah dan memenuhi janji politik selayaknya menjadi keharusan walaupun menghadapi perekonomian dunia yang sarat kesuraman.

Dalam kondisi demikian dengan aliran investasi yang tidak menggembirakan karena berebut dengan negara lain yang memberikan jaminan return yang lebih baik maka layak untuk mempertimbangkan Transformasi berbasis Blue Economy dan bersiap menjalani Panacea (healing for all diseases alias penyembuhan dari berbagai penyakit).

 

S. Arnold Mamesah - 8 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun