Orkestra Infrastruktur
Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel : "Ikhtiar Perekonomian Indonesia, Tiga Tahun Usai dan Kelak dalam Norma Baru Global"; dengan judul yang mengadopsi artikel yang dipublikasikan tiga tahun lalu : "Robohkah Surau Kami Karena Harga BBM Naik?"
Dengan kondisi pertumbuhan perekonomian global yang berada dalam tekanan pasca Krisis Finansial 2008 dan spiral deflasi komoditas, kebijakan stimulus anggaran merupakan pilihan kebijakan perekonomian dengan tema pembangunan infrastruktur demi menjamin interkoneksitas dalam bentuk intermodal serta memperhatikan faktor integrasinya. Dengan demikian kegiatan perekonomian yang selaras dengan pergerakan orang, barang dan jasa akan berlangsung mulus dan biaya logistik akan efisien.Â
Sebagai gambaran dan perbandingan, kondisi Infrastruktur dan Logistik diberikan pada Peraga-1.
Peraga-1 : Infrastructure Score & Rank - Logistic Performance Index & Rank
Dari Peraga-1, kondisi infrastruktur Indonesia di bawah China, Turki, Malaysia, India, dan Thailand; kondisi yang serupa juga terjadi pada Kinerja Logistik dengan urutan peringkat China, Malaysia, Turki, India, Thailand, Indonesia.
Peningkatan infrastruktur semata tidak langsung akan meningkatkan kinerja sektor logistik; tetapi perlu juga melakukan reformasi birokrasi dan perubahan dalam proses logistik. Demi peningkatan kualitas infrastruktur, anggaran belanja dalam APBN telah ditingkatkan seperti diberikan pada Peraga-2 dengan juga peningkatan PDB (berdasarkan harga konstan).
Peraga-2 : PDB dan Anggaran Infrastruktur
(Catatan. Proyeksi PDB (Produk Domestik Bruto - berdasarkan harga konstan) dibuat dengan asumsi pertumbuhan 5.4%; proyeksi anggaran infrastruktur berdasarkan rerata peningkatan 3 tahun terakhir)
Dengan memperhatikan Peraga-2 dapat dipahami bahwa ekspansi belanja infrastruktur akan mendorong peningkatan PDB. Tetapi pada sisi lain ada ancaman akibat peningkatan defisit anggaran serta utang yang kelak menjadi beban saat utang jatuh tempo.Â
Apakah dengan ancaman beban utang lantas infrastruktur roboh dan orkestra ditunda atau bahkan dihentikan ?
Perbaikan Genteng Bocor
Ada sebuah adagium yang dilontarkan mantan Presiden USA, J.F. Kennedy seperti diberikan pada Peraga-3.
Peraga-3 : Adagium JF. Kennedy
Gambaran spiral deflasi komoditas diberikan pada Peraga-4.
Peraga-4 : Spiral Deflasi Komoditas
Masa 2010 - 2012 saat terjadi "commodities boom" (puncak harga komoditas); dan sejak 2014 terjadi kondisi sebaliknya berupa penurunan harga, dan efeknya pada pendapatan. Hal lain yang lalai dilakukan saat terjadi "boom" tersebut dan kemudian berdampak pada pengembangan perekonomian dan terutama peningkatan industri adalah pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur.
Sementara saat berlangsung harga tinggi, nilai tukar mata uang Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD) menguat (Dutch Desease) seperti diberikan pada Peraga-5 : Kurs Tukar USD - IDR
Dari Peraga-5, depresiasi nilai tukar IDR terhadap USD sejak pertengahan 2011 hingga Triwulan-III 2014 mencapai hampir 40%.
Sejalan dengan masa "boom commodities", minat untuk ekspansi dan juga konsumsi tinggi seperti diberikan pada Peraga-6.
Peraga-6 : Ekspansi Kredit Investasi dan Konsumsi
Implikasi lanjutan dari fenomena spiral deflasi komoditas, lonjakan nilai tukar, dan beban utang korporasi, muncul dalam bentuk penurunan minat investasi dunia usaha dan korporasi yang lebih mengupayakan pembayaran utang namun kemudian menekan pendapatan tenaga kerja serta penurunan daya beli. Akumulasi permasalahan dalam perekonomian bak curahan hujan yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti; dan bukan pula waktu yang tepat untuk melakukan perbaikan "genteng bocor"; pilihannya melanjutkan orkestra infrastruktur.
Trilema Investasi, Infrastruktur, dan Income atau Penerimaan
Tiga hal yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian secara berkelanjutan dan membutuhkan perhatian khusus yaitu Investasi, Infrastruktur, dan Income atau Pendapatan. Pendapatan akan selalu berkaitan dengan tenaga kerja dan masyarakat serta penerimaan pajak pemerintah. Ketiga hal tersebut saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi serta sulit  untuk menentukan prioritas yang memerlukan penyelesaian segera (Kondisi demikian disebut : Trilema).
Gambaran penerimaan pajak (dalam arti luas) terhadap PDB beserta perbandingannya dengan negara lain diberikan pada peraga berikut ini.
Peraga-7 : Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB (GDP)
Rasio penerimaan pajak (dalam arti luas) yang berada di antara 14%-15%, sangat rendah dibandingkan dengan negara sekitar (Malaysia dan Thailand), juga India serta China. Sementara rerata negara-negara "Emerging Markets & Middle Income Economies" sudah mencapai 26%. Upaya melalui kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty) yang dilakukan pada 2016 Triwulan III hingga 2017 Triwulan-I, tidak mampu memberikan dorongan pada penerimaan tetapi justru menekan pertumbuhan (Lihat artikel : SMI Abaikan Sinyal demi Tax Amnesty, Buahnya Kontraksi). Â Â Â Â
Dengan penerimaan pajak rendah, maka defisit anggaran merupakan implikasinya sejalan dengan kebijakan stimulus yang telah dipilih. Dalam hal anggaran, disiplin ketat berlaku pasca Krismon 1998 melalui UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003. (Sesuai pasal 12 ayat (3) : Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto).
Gambaran defisit dan posisi utang terhadap PDB diberikan pada peraga berikut.
Peraga-8 : Rasio Defisit terhadap PDB (GDP)
Rasio defisit terhadap PDB (GDP : Gross Domestic Product) selalu berada di bawah 3% (pada 2017 diprakirakan antara 2.67% - 2.91%).
Peraga-9 : Rasio Utang terhadap PDB (GDP)
Rasio posisi utang terhadap PDB (GDP : Gross Domestic Product) berada  di bawah 30%, jauh dari ambang batas 60% dan juga rerata negara-negara Emerging Markets & Middle Income Economies yang berada pada kisaran 46% (2016).
Berdasarkan gambaran Peraga-7, Peraga-8, Peraga-9, sulit untuk menerima diksi atau prakiraan beberapa kalangan bahwa perekonomian Indonesia sangat terancam akibat Orkestra Infrastruktur yang sedang dan akan terus berlangsung. Tetapi upaya peningkatan penerimaan perlu dilakukan tanpa menimbulkan rasa cemas atau bahkan ancaman bagi dunia usaha.
Pada 6 November 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III 2017 pada angka 5.06%, yang mengindikasikan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya serta menjanjikan peningkatan pada triwulan mendatang. Ikhtiar Perekonomian Indonesia bukanlah sekedar perjalanan pendek dalam masa satu atau dua tahun; tetapi berwawasan panjang khususnya Menatap Satu Abad NKRI pada 2045.
Arnold Mamesah - 6 November 2017
(Artikel ini didedikasikan bagi almarhumah mami tercinta tepat pada HUT-nya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H