Sebutan "Reaganomics" dikaitkan dengan strategi perekonomian US pada 2 (dua) periode pemerintahan Presiden Ronald Reagan (RR) tahun 1981 - 1988. Sebagai mantan aktor film koboi di Hollywood, terpilihnya RR sebagai presiden US menimbulkan keraguan khususnya dalam kemampuan memulihkan perekonomian US yang mengalami penurunan pada masa Jimmy Carter presiden sebelumnya.
Gambaran perekonomian US pada masa 1974 - 1989 diberikan pada peraga berikut ini.
Peraga-1 : US GDP Growth, Inflation, Unemployment
Merujuk pada NAIRU (Non Accelerated Inflation Rate of Unemployment) selayaknya besaran inflasi pada kisaran 2% dan tingkat pengangguran (Unemployment) pada kisaran 5%. Dengan pertumbuhan pada 1979 : 3,2% dan 1980 : -0,2%, inflasi hingga di atas 10% akan menurunkan daya beli masyarakat. Peningkatan inflasi tersebut mulai terjadi pada 1977 dan dikenal sebagai masa stagflasi (stagflation). Presiden RR lantas mengambil kebijakan ekonomi yang dikenal dengan sebutan "Supply Side"; dalam kebijakan tersebut dilakukan pelonggaran pajak termasuk penurunan tarif terutama bagi korporasi, peningkatan belanja pemerintah (pada sektor pertahanan), mendorong kegiatan dunia usaha dengan memangkas aturan dianggap membebani, serta mengurangi bantuan sosial. Dalam waktu 2 (dua) tahun, inflasi berhasil dikendalikan dan tingkat pengangguran berhasil ditekan hingga pada 1988 (akhir masa Presiden RR) berada pada 5,5%.Â
Sebagai akibat peningkatan belanja, defisit anggaran meningkat dan juga rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto); gambarannya diberikan pada peraga di bawah ini.
Peraga-2 : US Deficit, Debt Growth, Debt to GDP Ratio
Defisit anggaran sejak 1982 meningkat menjadi 3,8% dan bertambah hingga 4,8% pada 1986 kemudian berbalik turun 2,7% pada 1989.Â
Dari Peraga-1 dan Peraga-2, ditunjukkan bahwa Reaganomics berhasil memulihkanperekonomian dan meningkatkan pertumbuhan US dengan "bumbu" defisit anggaran.
Kondisi stagnasi pertumbuhan juga terjadi di negari Sakura, Jepang, pada dekade akhir abad XX. Gambaran kondisi pertumbuhan ekonomi dan defisit anggaran Jepang diberikan pada peraga berikut ini.
Peraga-3 : Japan GDP Growth and Deficit
Pada 1992-1993 pertumbuhan ekonomi Jepang di bawah 1% dan pemulihannya dengan resep Japanomics; yang dilakukan dengan "bumbu" peningkatan defisit anggaran hingga mencapai 10,2% pada 1998; tetapi kemudian pada 2007 turun menjadi 2,8%.
Memperhatikan strategi pemulihan perekonomian US ala Reaganomics dan Jepang, pilihan defisit dengan dampak peningkatan utang bukan hal yang luar biasa. Sebagai gambaran diberikan kondisi rasio utang terhadap PDB.
Peraga-4 : Debt to GDP Ratio
Secara umum, rerata rasio utang terhadap PDB negara maju (2016) pada 106%, US : 107%, dan Jepang : 239%. Sementara untuk Emerging Market & Developing Economies rerata rasio utang : 48%; Indonesia masuk di sini dengan rasio utang pada akhir 2016 : 28%. Sebagai catatan, 65% dari utang US sumbernya domestik; Jepang mencapai 70%.
Jokowinomics
Sebutan Jokowinomics mengadopsi Reaganomics dan Japanomics. Di tengah gejolak perekonomian global pasca Krisis Finansial 2008, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami tekanan dengan tingkat inflasi berada di atas 7%; mirip dengan US jelang pemerintahan Presiden RR dan Jepang pada dekade 1990-an.
Sejak awal pemerintahan Jokowi, pembangunan infrastruktur menjadi tema sentral dan prioritas sebagai upaya peningkatan belanja; sementara pemberian subsidi dalam energi sangat dibatasi. Dalam hal iklim usaha, berbagai paket stimulus ekonomi diterbitkan untuk memberikan kemudahan dan menarik minat investasi domestik dan asing.Â
Untuk mengeliminasi pengikis daya beli masyarakat, inflasi sudah dapat dikendalikan dan gambarannya diberikan pada peraga berikut ini.
Peraga-4 : Tingkat InflasiÂ
Sejak 2015 tren penurunan inflasi terus berlangsung menuju kisaran 4%. Kondisi nilai tukar mata uang Rupiah (IDR) terhadap valuta asing, terutaman Dolar Amerika (USD) pada posisi stabil dengan rentang IDR 13.300 - 13.400 (untuk USD 1). Pada 2015 dan 2016 dalam kondisi nilai ekspor turun, masih terjadi surplus dalam perdagangan.
Dengan kondisi moneter dan perdagangan global stabil, Jokowinomics belum sepenuhnya mengadopsi menu Reaganomics atau Japanomics yaitu meningkatkan dan maksimalisasi defisit anggaran. Bendahara Umum Negara, yaitu Menteri Keuangan, cenderung membatasi defisit dan berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui pajak bukan relaksasi. Kondisi ini menyebabkan menu Jokowonomics tidak dapat disamakan dengan Reaganomics atau Japanomics sehingga jangan mengharapkan hasil optimal; ibarat menu "kurang bumbu".
Arnold Mamesah - 24 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H