Bias Negatif
Beredar bak viral terjemahan artikel berupa opini tulisan Jake van der Kamp, yang dipublikasikan harian Hongkong, South China Morning Post dengan judul asli : "Opinion: Sorry President Widodo, GDP rankings are economists’ equivalent of fake news" (Klik artikel di sini). Pada salah satu bagian dikutip : "Within Asia alone I count 13 countries with higher reported economic growth rates than Indonesia’s latest 5.02 per cent. They are India (7.5), Laos (7.4), Myanmar (7.3), Cambodia (7.2), Bangladesh (7.1), Philippines (6.9), China (6.7), Vietnam (6.2), Pakistan (5.7), Mongolia (5.5), Palau (5.5), Timor-Leste (5.5) and Papua New Guinea (5.4). Urutan ini disusun menggunakan "snapshoot" data pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product atau PDB : Produk Domestik Bruto) 2016.
Artikel terjemahan tersebut menjadi santapan lezat bagi kaum yang sudah terimbas atau terkena "Negativity Bias" (lihat penjelasannya dalam :"The12 Cognitive Biases that prevent you from being rational"); alias menyenangi hal atau berita yang bernada negatif. Dalam era media sosial, sebaran informasi ini diterima saja sebagai hal biasa khususnya jika mengingat akan karakter informasi dalam media sosial (Lihat Peraga-1).
Pertumbuhan Perekonomian Gajah (India), Panda (China), Garuda (Indonesia)
Baru saja Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pencapaian perekonomian masa Triwulan-I 2017 dan tercatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP) Indonesia pada  5,01%. (Informasi lengkap dapat dilihat di sini). Sementara bulan lalu China mengumumkan pencapaian kinerja perekonomian untuk masa yang sama bertumbuh 6,9%.
Perlu diingat bahwa Indonesia berada dalam kelompok G20 yang secara agregasi PDB negara-negara dalam G20 mewakili lebih dari 80% PDB Global. Gambaran PDB dalam G20 diberikan pada Peraga-2 dan Indonesia masuk kelompok "Others" yang mewakili 18% PDB G20.
Memperhatikan rerata pertumbuhan 3 (tiga) tahun terakhir, 4 (empat) negara berada di atas rerata G20 yaitu India, China, Indonesia, dan Turkey. Pada 2016 pertumbuhan Turkey turun drastis; seperti dialami Saudi Arabia, Argentina, dan Brazil dengan pertumbuhan di bawah rerata G20.Â
Untuk memahami kondisi dalam 2 (dua) tahun terakhir dan rentang waktu triwulanan, diberikan gambaran pada Peraga-4 dengan tambahan United Kingdom (UK) dan USA.
Dari Peraga-4, trend pertumbuhan triwulanan China (garis putus cokelat) dan India (garis putus hijau) turun sedangkan Indonesia (garis putus merah) naik walau tipis. Sementara UK pasca Brexit (Juni 2016) mengindikasikan trend naik sedangkan USA masa Presiden Donald Trump (triwulan-I 2017) turun.
Agar perekonomian Indonesia dapat mencapai pertumbuhan 2017 sebesar 5,1% (APBN 2017) atau 5,2%, perlu ekspansi investasi dengan dukungan perbankan dan investasi asing (FDI : Foreign Direct Investment). Dengan peningkatan investasi akan berdampak pada peningkatan konsumsi dan menjamin peningkatan pertumbuhan pada masa mendatang khususnya pada 2018 yang ditargetkan sebesar 5,6%. (Lihat artikel : "Memang Presiden Punya Mau" dengan klik di sini)
Masalah pemerataan telah menjadi sorotan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kutipan pernyataan seperti : " ... hampir 50 persen kekayaan Indonesia dikontrol hanya satu persen dari total penduduk" seakan menggambarkan ketimpangan yang lantas memicu kecemburuan sosial. Untuk memahami kondisi tersebut perlu dilihat dengan membandingkannya terhadap kondisi global seperti yang diberikan pada Peraga-5.
Indonesia dengan populasi sekitar 260 juta jiwa (dalam kategori High > 150 Juta), berada pada peringkat-4, dengan tingkat pendapatan per kapita (Income/Capita - 2016) sebesar USD 3.604 (dalam kategori Mid Low : 2K - 6K USD) Â dan indeks GINI (representasi sebaran pendapatan; untuk penjelasannya klik di sini) pada angka 39 (masuk kategori : 33 - 42).
Rangkuman 80% populasi global dengan memperhatikan kategori populasi, tingkat pendapatan, dan indeks GINI diberikan pada Peraga-6
Indonesia berada pada kategori populasi High > 150 Juta, dengan kategori tingkat pendapatan per kapita Mid Low : 2K - 6K USD, serta kategori indeks GINI : 33 - 42 (lihat pada peraga dengan "highlight" biru muda).
Dari Peraga-6, 46% (16 negara) berada dalam kategori indeks GINI : 33-42 dan 23% (8 negara) indeksnya lebih rendah sedangkan 31% indeksnya lebih tinggi yang maknanya "gap" pendapatan besar. Dari 8 (delapan) negara dengan populasi > 150 Juta, 2 negara memiliki indeks GINI rendah tetapi tingkat pendapatannya dibawah USD 2 K (baca : USD 2.000); sedangkan 3 (tiga) negara memiliki indeks GINI lebih tinggi dari 42. USA bersama Indonesia dan India berada dalam kategori negara dengan populasi > 150 Juta jiwa dengan kategori indeks GINI : 33-42 dang tingkat pendapatan secara berurutan High (USA), Mid Low (Indonesia), dan Low (India).Â
Memperhatikan Peraga-6 dengan tingkat populasi, pendapatan, sebaran indeks GINI, serta mengingat populasi yang terus bertambah maka menjaga tingkat pertumbuhan harus mendapatkan perhatian (Ingat formula : Pendapatan per kapita adalah PDB dibagi dengan jumlah populasi). Upaya pemerataan dengan mengurangi "gap" dilakukan dengan percepatan peningkatan pendapatan; tetapi cara demikian akan kembali mengangkat pendapatan golongan dengan pendapatan tinggi. Upaya dan langkah mengeliminasi "gap" selayaknya memperhatikan kenyataan atas hadirnya "silo" (pengkotakan), "segragation" (pemisahan), dan "superiority" (pengusaan) dalam perekonomian. Strategi dan langkah melalui pemberdayaan merupakan pilihan untuk pemerataan yang dilakukan dengan membuka akses yang luas terhadap sumberdaya dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan serta "reward" atau insentif terhadap prestasi atau pencapaian.
Peningkatan perekonomian dan pendapatan secara berkelanjutan serta upaya pemerataan melalui pemberdayaan dicapai bukan dalam hitungan triwulan tetapi dekade; namun langkah tersebut harus tersusun dan tertata sehingga dapat melangkah pasti.Â
Arnold Mamesah - 6 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H