Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Keliru dalam Kebijakan, Keuangan Negara Bukan Korporasi

14 September 2016   18:31 Diperbarui: 15 September 2016   13:47 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengutip kata-kata Einsten : "Everything should be made as simple as possible but not simpler", jika diterjemahkan : " Sederhanakan bukan gampangkan".

Merupakan hak prerogatif Presiden Jokowi memilih dan menetapkan para pembantu (menteri atau penasehat) dari berbagai kalangan dan latar belakang, misalnya profesional pimpinan korporasi, pengusaha yang berhasil, kalangan akademisi dan pakar dalam disiplin ilmu tertentu (misalnya sosial, ekonomi, hukum, engineering).

Tetapi perlu diperhatikan bahwa catatan pengalaman terdahulu, keberhasilan dalam menjalankan usaha atau bisnis, atau kepakaran akademis bukan jaminan keberhasilan dalam menentukan kebijakan dan implementasinya dalam lingkup pemerintahan. Alasannya sederhana; karena pemerintahan bukan perusahaan alias korporasi atau lingkungan kampus yang hanya erat dengan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pola pikir dalam pemerintahan, khususnya tata kelola keuangan, sangat berbeda dengan dunia usaha atau lingkungan kampus.

Sebagai gambaran, seorang pimpinan korporasi (misalnya CEO : Chief Executive Officer) merupakan pimpinan tertinggi dalam korporasi; misalnya dengan 10.000 (Sepuluh Ribu) karyawan; dapat mengendalikan perusahaan sesuai rencana dan arahannya. Sebagai korporasi, output (produk atau layanan) yang dihasilkan hampir semua "dijual" atau dikonsumsi di luar lingkungan korporasi (kalaupun ada karyawan yang mengkonsumsi jumlahnya kecil dan tidak terlalu berarti).

Output korporasi merupakan sumber utama pendapatan; sedangkan membayar upah karyawan merupakan beban korporasi. Jika produk atau layanan korporasi menghadapi persaingan yang menyebabkan penurunan pendapatan dari hasil penjualan, langkah yang akan dilakukan salah satunya menurunkan harga jual.

Demi penurunan harga ini korporasi perlu menekan biaya produksi dan salah satunya upah tenaga kerja. Jika penurunan penjualan masih terus berlangsung maka jumlah produksi akan dikurangi untuk menghindari situasi "over supply", menekan beban biaya serta mengurangi tenaga kerja misalnya sebanyak 1.000 - 2.000 orang.

Kondisi sebaliknya dengan perekonomian Indonesia; lebih dari 80% output (produk dan jasa) dikonsumsi rakyat (nilai ekspor barang dan jasa kurang dari 20% dari PDB). Dalam hal negara yang menggunakan pola pikir ala dunia usaha atau korporasi, kondisi penurunan pendapatan (penerimaan pajak) akan ditanggapi dengan cara pengurangan atau pemotongan biaya atau anggaran. Akibatnya, belanja negara berkurang dan berdampak permintaan akan produk barang dan jasa turun.

Kondisi ini akan menular pada dunia usaha dengan penurunan pendapatan yang berimplikasi pada penurunan jumlah setoran pajak. Demikian siklus berlangsung dan akibatnya perekonomian semakin menyusut. Dengan demikian jelaslah bahwa penurunan pendapatan negara tidak boleh direspon atau ditanggapi dengan pemotongan anggaran.

Sebaliknya, pemerintah harus meningkatkan belanja yang berdampak peningkatan defisit anggaran dan perlu ditutup dengan penambahan utang. Selayaknya para pembantu Presiden Jokowi yang membidangi perekonomian dan perbendaharaan sangat paham akan pola pikir demikian dan tidak menggunakan pola pikir dunia usaha.

Sudah begitu banyak kontroversi dan perdebatan yang muncul dalam masyarakat seputar Tax Amnesty (TA) termasuk upaya pemerintah melalui Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). TA masih berproses dan akan ada perubahan hingga 31 Maret 2017; tetapi layak memperhatikan prediksi pesimistis Bank Indonesia.

Sulit mendapatkan rujukan atas keberhasilan program Tax Amnesty pada negara lain dalam upaya menutup defisit anggaran. Lebih baik berharap pada perubahan perilaku masyarakat dalam kepatuhan terhadap peraturan pajak dan perluasan jangkauan wajib pajak. Perluasan jangkauan ini dipahami sebagai Tax Coverage; bermakna cakupan terhadap wajib pajak yang dapat dilayani petugas serta kantor pelayanan pajak. (Tentang substansi dan makna pelayanan dalam perpajakan dapat diklik di sini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun