Sesat Paham terhadap Ancaman Global
Tiga hal yang sering disebut sebagai ancaman global terhadap perekonomian Indonesia yaitu Penurunan Pertumbuhan Ekonomi China, Kenaikan Suku Bunga The Fed (Fed Fund Rate), dan Deflasi Komoditas, Bagaimana memahami dampaknya?
Tentang faktor China, Peraga-1 memberikan gambaran tren pertumbuhan ekonomi (PDB) China dan Indonesia.
Dalam 8 triwulan sejak Triwulan-2 2014, tren pertumbuhan China (garis putus merah) turun. Tetapi kondisi sebaliknya dengan tren naik pertumbuhan Indonesia. Fakta ini mematahkan dugaan bahwa faktor China sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia. (Lihat artikel Poros Jakarta - Tokyo atau Jakarta - Beijing Demi Investasi dan Infrastruktur).
Salah satu dampak kenaikan suku bunga acuan the Fed (Fed Func Rate) adalah nilai tukar USD yang akan menguat (Lihat artikel Kecoak Global dan Virus Ekonomi Indonesia). Tetapi terhadap ancaman tersebut, Peraga-2 memberikan fakta neraca tahunan perdagangan Indonesia dengan USA (masa Agustus hingga Juli tahun berikutnya).
Pada Peraga-2 ditunjukkan bahwa dalam 3 (tiga) tahun terakhir neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus terhadap USA dan tidak dipengaruhi gejolak normalisasi (baca: kenaikan) Fed Fund Rate.
Salah satu kondisi global yang telah berlangsung lama dan berdampak pada perekonomian adalah deflasi (penurunan) harga komoditas. Peraga-3 menunjukkan dampak deflasi komoditas pada Real Effective Exchange Rate Index Rupiah (IDR) dan beberapa mata uang lainnya seperti Rupee (INR - India), Renminbi (CNY - China), Ringgit (MYR - Malaysia) dan New Lira (TRY - Turkey)
Fakta dari Peraga-3 menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, indeks komoditas terakhir Juli 2016 mengalami penurunan 13,3% dibandingkan dengan rerata indeks 24 bulan, mengindikasikan harga komoditas yang terus turun. Sementara dengan perhitungan yang sama pada indeks REER, indeks mata uang China (Renminbi) turun 3,8%, indeks mata uang Malaysia turun 2,9%, dan Turki turun 0,6%. Kondisi sebaliknya dialami indeks mata uang India (Rupee) yang naik 2,9% dan indeks Rupiah naik 4,1%.Â
Fokus Domestik dan Antisipasi Spiral Deflasi
Pada Oktober 2015 penulis memublikasikan artikel "Eksternal Perlu, tetapi Fokus ke Domestik" saat para ahli ekonomi dan pengamat mengangkat masalah peningkatan ekspor dalam menghadapi "Currency Wars" dan tekanan nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD) yang pada akhir September 2015 sempat mencapai kisaran IDR 14.800 untuk USD 1.
Bagaimana meneropong dan memahami perekonomian domestik? Masalah yang sangat mencemaskan adalah pertumbuhan investasi dan dapat dilihat pada prediksi Bank Indonesia akan ekpansi kredit perbankan yang masih single digit hingga akhir 2016. Penyebabnya bukan pada suku bunga kredit yang masih "double digit" tetapi pada ekspektasi pasar yang masih rendah terhadap pertumbuhan ekonomi; sementara sektor swasta khususnya korporasi masih terus memperbaiki posisi neraca yang mengalami Balance Sheet Recession Problem (Lihat: Resesi Neraca dan Perubahan Perilaku).
Keadaan penurunan permintaan terutama barang konsumsi merupakan hal yang sangat kritikal dengan indikasi inflasi negatif 0,02%Â pada masa Agustus 2016 dan diprakirakan berlanjut pada September 2016 akibat faktor psikologis masyarakat untuk berhemat dan pemotongan anggaran pemerintah. Sementara yang paling menghebohkan dan menyita perhatian adalah penerimaan negara khususnya melalui pajak yang jauh di bawah target. Demi menjaga ketahanan fiskal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai "Bendahara Negara" memutuskan pengetatan anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah. Lanjutan kebijakan "potong anggaran" ini akan (pasti) terjadi jika penerimaan dari tebusan atau "upeti" Tax Amnesty yang ditargetkan 165 Triliun Rupiah tidak tercapai.
Tidak sulit potong anggaran belanja tetapi dampak tularannya berbahaya yaitu "spiral deflasi" dan penyusutan perekonomian secara agregasi.Â
Bias Tax Amnesty
Saat berbicara di depan Sivitas Akademika Universitas Indonesia Depok, 1 September 2016, dengan diawali gugahan melalui lagu kebangsaan Indonesia Raya, SMI menyebut dua indikator yaitu (1) Rasio Penguasaan Kekayaan (Wealthy Distribution); dan (2) Rasio Pajak terhadap Produk Domestik Bruto (Tax Ratio). Pada indikator pertama dikatakan bahwa 1% jumlah orang berdasarkan urutan nilai kekayaan menguasai 50% kekayaan di Indonesia. Mengutip laporan World Bank yang dipublikasi salah satu harian, 10% orang kaya menguasai 77% kekayaan. (lihat artikel : Richest 10 percent own about 77 percent of Indonesia's wealth). Melihat indikasi ini, distribusi kekayaan Indonesia selaras dengan Prinsip Pareto (Penjelasannya klik: Pareto Principle) yaitu 80% kekayaan berada pada 20% penduduk (kaya), Berdasarkan indikator tersebut SMI ingin menunjukkan kesenjangan atau GAP yang menjurus pada ketidaksetaraan (inequalty).Â
Indikator Tax Ratio 2015 pencapaiannya 10,47% dengan tren seperti diberikan pada Peraga-4.
Selain indikator yang disebut SMI, dua indikator lain yang layak dipahami dan digunakan, yaitu Tax Coverage (kemampuan petugas DJP "menjangkau dan melayani wajib pajak) dan Tax Buoyancy (Penerimaan pajak yang meningkat secara berkesinambungan). Tax coverage 2015 hanya sanggup mencapai 55% (standar: 70) dengan Tax Buoyancy 1,2 (selayaknya pada rentang: 1,5-2). Bagaimana melihat dan memanfaatkan peluang peningkatan penerimaan pajak berdasarkan indikator-indikator yang telah disebutkan?Â
Upaya melalui peningkatan tax coverage menjadi "key factor" agar mencapai setidaknya 70%. Dengan peningkatan Tax Coverage dari 55% menjadi 70% maka secara proporsional Tax Ratio akan meningkat sekitar 1,6% dari PDB (Penjelasan: peningkatan Tax Coverage 15% dikalikan dengan Tax Ratio 10,47%). Dengan asumsi besaran PDB 2015 IDR 11.000 triliun, akan ada potensi tambahan penerimaan negara 1,6% dari PDB atau setara IDR 176 triliun. Jumlah ini lebih besar dari prediksi "upeti" Tax Amnesty sebesar IDR 165 triliun (Catatan: Prediksi penerimaan ini berdasarkan prakiraan dana milik WNI yang disimpan atau dibiakkan di Tax Haven Countries dan diduga melakukan penghindaran pajak atau Tax Evasion).
Lantas bagaimana pengelolaan dan penanganan masalah perekonomian Indonesia selayaknya berlangsung. Upaya melalui kebijakan moneter mendorong peningkatan perekonomian tidak terjadi alias kebijakan moneter mandul. Berbagai paket kebijakan demi stimulus perekonomian yang diluncurkan belum menunjukkan hasil yang diharapkan terutama dalam mengundang investasi asing. Dengan demikian tinggal berharap pada ekspansi Fiskal (Belanja dan Penerimaan Negara) sejalan dengan kebijakan stimulus yang sudah dipilih.
Menteri Keuangan SMI memang berhasil menunjukkan kepiawaiannya dalam mengemban tanggung jawab sebagai Managing Director World Bank; dan sebagai pakar perekonomian dari Universitas Indonesia serta diperkaya dengan studi hingga tingkat doktor di University of lllinois Urbana-Champaign, U.S.A. Tetapi tentunya penunjukan SMI sebagai "Bendahara Negara" bukan sekedar "Tukang Pangkas" atau bermain dengan indikator tanpa paham dan cermat memanfaatkan substansi di balik indikator tersebut.Â
Tentang Penerimaan Negara, "upeti" Tax Amnesty bukanlah tujuan demi ketahanan Fiskal; tetapi SMI perlu cerdas menata tahapan langkah melalui PINTAR.Â
Ibu Sri Mulyani Indrawati, It's not just Transformation but an Endeavor toward Great Indonesia ... as in our national anthem : "Untuk Indonesia Raya" !
Arnold Mamesah - Akhir Pekan Pertama September 2016
Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H