Spiral Deflasi
Kenapa dipilih judul demikian ? Indikasi diberikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) tentang tekanan anggaran sehingga harus dilakukan pengetatan, serta kesulitan mencapai target pertumbuhan 5,2% pada 2016. Demi menjaga keseimbangan anggaran penerimaan dan belanja, pemotongan perlu dilakukan pada belanja Kementerian dan Lembaga serta pengaturan transfer ke daerah. Akibat langsung akan terasa pada suntikan dana kepada masyarakat yang kelak akan menekan permintaan.
Sementara. pasca "peak season" hari raya pada Juli 2016, Bank Indonesia memprakirakan terjadi inflasi negatif pada Agustus 2016. (Informasi terbaru : Deflasi 0,02% pada Agustus 2016). Keadaan demikian merupakan siklus normal setelah "peak" saat masyarakat mengurangi belanja. Namun kondisi serupa akan terulang pada September 2016 akibat pengetatan anggaran dan "shock Tax Amnesty" yang secara psikologis mengurangi minat belanja.
Inflasi negatif yang berkelanjutan (deflasi) bukan hal positif bagi perekonomian karena dampak lanjutannya seperti digambarkan Peraga-1.
Virus The Fed dan Tekanan Utang
Pada 20-21 September 2016, Federal Open Market Committee (FOMC), US Federal Reserve (The Fed) akan mengadakan pertemuan. Berdasarkan indikasi dan pernyataan yang dikeluarkan anggota FOMC, khususnya Nyonya Janet Yellen (Fed Chairwoman) dan Tuan Stanley Fischer (Vice Chairman), kuat dugaan akan diputuskan kenaikan Fed Fund Rate (sering disebut Fed Rate) dari 0,50% menjadi 0,75%.
 Indikasi kenaikan ini mendapatkan reaksi dari Larry C. Summer, mantan Menteri Keuangan US yang juga terkenal dengan jargon "Secular Stagnation" yang melanda perekonomian global. (Klik "Secular Stagnation" untuk pemahaman lebih lanjut). Atas rencana menaikkan Fed Fund Rate (suku bunga acuan The Fed), Larry Summer mengatakan : "The Fed let us all down. In their public remarks, at least, the FOMC members present expressed little concern about problems with the Fed's toolkit or weaknesses with the current 2% inflation target".Â
Dengan Fed Fund Rate 0,5%, target inflasi berdasarkan US Consumer Price Index (CPI) 2% tidak tercapai dan peningkatan pendapatan hanya berkisar 2,5% seperti diberikan pada Peraga-2.
Sementara, kenaikan Fed Fund Rate akan menyebabkan kenaikan nilai tukar Dolar US (USD) terhadap mata uang mitra dagangnya (disebut USD Strong); selanjutnya akan menekan ekspor US dan menyebabkan defisit perdagangan US meningkat.
Sebagai akhir Triwulan-3, pada September ini akibat tekanan kewajiban pinjaman eksternal yang jatuh tempo (due to maturity) kurang dari 1 (satu) tahun, pemintaan USD dalam negeri akan meningkat. Peraga-3 memberikan gambaran kondisi utang eksternal hingga Juni 2016.
Pada akhir Triwulan-2 2016, posisi utang pemerintah (Government) yang jatuh tempo sekitar USD 7,2 Miliar; sementara pihak swasta besarnya USD 49,2. Secara rerata pada akhir Triwulan-3 kewajiban utang yang harus dipenuhi masing-masing USD 1,8 Miliar (pemerintah) dan USD 12,3 Miliar (swasta) atau USD 14 Miliar. Berdasarkan Peraga-2 dengan target inflasi US tidak tercapai, selayaknya kenaikan Fed Rate belum akan terjadi sehingga tidak timbul gejolak nilai tukar. Tetapi tingginya permintaan USD untuk memenuhi kewajiban utang akan berimplikasi tekanan pada nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap USD. Hal ini merupakan ancaman bagi kegiatan perekonomian.
Fiscal Sebagai Pemacu
Mencermati kondisi global, strategi moneter melalui kebijakan "Easy Money" dan suku bunga sangat rendah ditujukan untuk mendorong pertumbuhan melalui peningkatan konsumsi yang mendorong inflasi. Ternyata strategi tersebut tidak berhasil dan merupakan ciri "Secular Stagnation". Bank Indonesia berusaha mendorong kredit dengan menurunkan suku bunga acuan secara dinamis (BI 7-Day Reverse Repo Rate); tetapi hasilnya pertumbuhan kredit tetap "single digit".
Sementara, serial Paket Stimulus Perekonomian yang sudah berjalan setahun sejak September 2015 untuk menarik minat investasi asing belum menunjukkan hasil. Godaan Tax Amnesty dengan berharap repatriasi dana dari luar belum menunjukkan hasil positif walaupun ada kabar menarik tentang peningkatan komitmen investasi dari Singapura. Tingkat konsumsi yang tertekan dan investasi rendah bukan saja berdampak pada turunnya pertumbuhan tahun berjalan tetapi juga mengakibatkan tekanan pertumbuhan yang berkelanjutan (resesi).
Dengan demikian tinggal berharap pada strategi fiskal khususnya belanja pemerintah yang menjadi perangsang atau stimulus. Dalam kondisi dunia usaha tertekan akibat penurunan permintaan, jangan berharap akan terjadi peningkatan penerimaan pajak. Mengupayakan peningkatan penerimaan justru akan menyedot dana dari dunia usaha dan masyakarat dan mengurangi jumlah yang beredar serta memperlambat perputaran uang (velocity of money). Pada sisi belanja, Menkeu SMI memiliki 3 (tiga) dalam menuju akhir 2016 yaitu pelebaran defisit, pemangkasan anggaran, dan pengelolaan arus kas. Mencermati opsi tersebut, pengelolaan arus kas dapat dilakukan dengan meninjau dan menjadual ulang pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek; sementara pemangkasan anggaran sebenarnya lebih bermakna pada penggunaan secara cermat dan tepat sasaran.
Langkah pelebaran defisit merupakan opsi yang sangat perlu dilakukan karena akan menambah dana yang berputar. Sehingga meningkatkan perputaran uang yang selanjutnya mengangkat pendapatan dan konsumsi masyarakat. Memang opsi ini berisiko pada inflasi dan penambahan utang. Tetapi menghadapi kondisi Secular Stagnation inflasi itu perlu; dengan pertumbuhan ekonomi terus meningkat penambahan utang kelak akan terbayar.Â
Penerima Anugerah Nobel 2008Â Paul Krugman memberikan resep : "Saatnya Berutang" lebih banyak !
Arnold Mamesah - Hari Pertama September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H