Bicara tentang ancaman global terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia, jawaban baku yang selalu disebut-sebut adalah penurunan pertumbuhan China, kenaikan suku bunga The Fed (Fed Fund Rate), dan deflasi komoditas di pasar global. Karena pernyataannya keluar dari antara lain Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesia yang berada pada posisi penting dalam kebijakan perekonomian, tentu saja pernyataan ini telah melalui kajian para ahli yang berada di sekitar Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan dan Kementerian Perekonomian) dan yang berada di Jalan Thamrin (Gedung BI).
Suara yang mirip juga muncul dari para analis ekonomi perbankan atau perusahaan sekuritas yang tidak jauh dari tiga hal tersebut. Entah siapa yang membeo kepada siapa; tetapi dari kalangan non pemerintah tentu saja rentang waktu pengamatannya pendek; sedangkan pemerintah atau bank sentral wawasan (seharusnya) luas dan rentang waktunya panjang.
Tulisan ini bukan dengan rentang waktu pendek misalnya setengah harian, harian atau mingguan. Rentang pendek biasanya digunakan untuk transaksi yang bersifat spekulasi karena fluktuasi dan gejolak mendorong peningkatan transaksi sekalian peluang mendulang "gain" atau sebaliknya "loss".
Deflasi komoditas bukan fenomena baru dan merupakan bagian dari siklus perekonomian seperti juga pertumbuhan perekonomian. Pertumbuhan China, yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP : Gross Domestic Product), hingga 2010 China masih menikmati angka "double digit" atau di atas 10%. Namun selanjutnya terus turun hingga pada 2015 di bawah 7% (tepatnya 6,9%; pada Triwulan-1 2016 menjadi 6,7%).
Pada Peraga-1 diberikan gambaran pertumbuhan GDP dan deflasi komoditas (Non Energy & Energy).
Pasca Krisis Global 2008, demi mempertahankan pertumbuhannya China melakukan kebijakan stimulus anggaran dengan menggelontorkan dana sebesar RMB 4 Triliun atau hampir USD 600 Miliar. Dana tersebut disalurkan melalui pinjaman yang ditujukan kepada SOE (State Owner Enterprise atau BUMN China) dan pemerintah lokal (tingkat provinsi atau daerah). Memang China dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan tetapi kemudian terjadi kejenuhan dan pada saatnya pinjaman tersebut "jatuh tempo", muncul tekanan atau "debt exposure". Pada sisi lain, penurunan pertumbuhan menyebabkan terjadinya "capital flight" ke luar dari China yang dan gejolak pada pasar saham Shanghai, seperti pada medio 2015, dan tekanan nilai tukar Renminbi terhadap mata uang asing, terutama Dolar Amerika (USD). Untuk menjaga stablitas keuangannya, People Bank of China (Bank Sentral China) harus melakukan intervensi; sejak awal 2015 hingga April 2016 cadangan dana China berkurang 14,1% atau hampir USD 600 Miliar. Gambaran posisi Cadangan Devisa China diberikan pada Peraga-2.
Dalam kondisi perdagangan yang selalu surplus, China harus mengalami penurunan cadangan devisa dalam jumlah besar. Memang China aktif melakukan Overseas Direct Investment dengan tujuan utama South dan South East Asia sekalian untuk meluaskan pasar ekspor produk atau barang modalnya. Tetapi melihat jumlah realisasi investasi China di Indonesia yang belum significant, jumlah cadangan devisa yang berkurang bukan semata untuk overseas investment tetapi untuk mempertahankan stabilitas pasar saham dan nilai tukar mata uang Renminbi. Untuk mendorong pertumbuhannya, China akan mendorong ekspor tetapi sebaliknhya menekan impor khususnya produk komoditas. Tindakan demikian akan siklistis dan kembali menekan harga komoditas global.
Sejak 2013, The Fed selalu menjadi perhatian pasar finansial khususnya keputusan menormalisasi (baca : menaikkan) suku bunga acuan. Akibatnya selalu timbul gejolak dan semakin membuat Dolar Amerika menguat (USD Strong). Hal ini terjadi karena dana akan ditarik dan dipindahkan ke pasar US. Dampak USD Strong ini justru membuat defisit perdagangan US membesar; sementara bagi Indonesia meningkatkan surplus perdagangan dengan US. Kondisi defisit perdagangan US diberikan pada Peraga-3.Â
Jika kondisi USD Strong berlanjut, Defisit Perdagangan US akan bertambah menjadi sekitar USD 750 Miliar pada akhir 2016 (bandingkan dengan defisit pada 2015 sebesar USD 745 Miliar). Defisit terbesar dialami US dengan China, selanjutnya dengan European Union.
Sementara, USD Strong juga berdampak pada inflasi rendah yang diukur berdasarkan Consumer Price Index; diberikan pada Peraga-4.
Peraga-4 menunjukkan bahwa kenaikan index nilai tukar USD menyebabkan inflasi turun dan selama 2016 berada dibawah 1.5%, sementara target inflasi besarnya 2%. (Merujuk pada NAIRU - Inflasi : 2% dan Unemployment : 5%)
Kondisi USD Strong bagi US berdampak peningkatan defisit perdagangan, rendahnya inflasi, tekanan pada korporasi US akibat penjualan pada pasar global turun, dan pertumbuhan korporasi rendah (atau bahkan negatif) sehingga menekan lapangan kerja (seperti release Departemen Tenaga Kerja US pada pekan lalu). Dengan demikian, merupakan situasi pelik bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate dengan berbagai implikasi terutama penguatan USD. Sebagai perbandingan, European Central Bank (European Union) dan Bank of Japan (Bank Sentral Jepang) sudah memberlakukan Zero Lower Bound Policy atau suku bunga acuan rendah (mendekati NOL).
Dari tiga ancaman yang disebutkan, justru sebenarnya merupakan kesempatan bagi perekonomian Indonesia. Deflasi komoditas justru akan mendorong proses dan pengolahan di dalam negeri untuk menjadikannya sebagai " finished goods". Penurunan pertumbuhan China dan tekanan "internal debt" menimbulkan "capital flight" yang kemudian "dana" tersebut mencari tempat berbiak; Indonesia menjadi pilihan utama (Lihat artikel : Modal Tinggalkan China Pindah ke Indonesia).
Kenaikan suku bunga acuan The Fed akan bertentangan dengan kebijakan ECB dan Bank of Japan yang implikasinya penguatan USD; membuat tekanan pada perekonomian US (seperti peningkatan defisit perdagangan, rendahnya inflasi yang berdampak tekanan pertumbuhan korporasi, dan penurunan lapangan kerja baru). Sementara neraca perdagangan Indonesia - US tidak akan berpengaruh (berdasarkan historical trend) dan tetap surplus; juga merujuk kenaikan Fed Fund Rate medio Desember 2015, tidak terjadi gejolak berarti bahkan sejak Januari 2016 Rupiah mengalami penguatan atau apresiasi.
Sepertinya ada pendekatan dan pemahaman yang salah terhadap masalah global dan kesimpulan sesat yang disampaikan kepada Menteri atau Gubernur BI.
Arnold Mamesah - 7 Juni 2016
Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H