Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sesat Paham Menteri dan Gubernur BI atas Tiga Ancaman Global

7 Juni 2016   16:54 Diperbarui: 7 Juni 2016   17:24 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : http://www.seiyaku.com/customs/crosses/trident.html

Jika kondisi USD Strong berlanjut, Defisit Perdagangan US akan bertambah menjadi sekitar USD 750 Miliar pada akhir 2016 (bandingkan dengan defisit pada 2015 sebesar USD 745 Miliar). Defisit terbesar dialami US dengan China, selanjutnya dengan European Union.

Sementara, USD Strong juga berdampak pada inflasi rendah yang diukur berdasarkan Consumer Price Index; diberikan pada Peraga-4.

us-currency-exch-and-cpi-57568d6a957e61db0b34b4c9.jpg
us-currency-exch-and-cpi-57568d6a957e61db0b34b4c9.jpg
Sumber Informasi : Fred - The Fed St. Louis - Economic Research

Peraga-4 menunjukkan bahwa kenaikan index nilai tukar USD menyebabkan inflasi turun dan selama 2016 berada dibawah 1.5%, sementara target inflasi besarnya 2%. (Merujuk pada NAIRU - Inflasi : 2% dan Unemployment : 5%)

Kondisi USD Strong bagi US berdampak peningkatan defisit perdagangan, rendahnya inflasi, tekanan pada korporasi US akibat penjualan pada pasar global turun, dan pertumbuhan korporasi rendah (atau bahkan negatif) sehingga menekan lapangan kerja (seperti release Departemen Tenaga Kerja US pada pekan lalu). Dengan demikian, merupakan situasi pelik bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate dengan berbagai implikasi terutama penguatan USD. Sebagai perbandingan, European Central Bank (European Union) dan Bank of Japan (Bank Sentral Jepang) sudah memberlakukan Zero Lower Bound Policy atau suku bunga acuan rendah (mendekati NOL).

Dari tiga ancaman yang disebutkan, justru sebenarnya merupakan kesempatan bagi perekonomian Indonesia. Deflasi komoditas justru akan mendorong proses dan pengolahan di dalam negeri untuk menjadikannya sebagai " finished goods". Penurunan pertumbuhan China dan tekanan "internal debt" menimbulkan "capital flight" yang kemudian "dana" tersebut mencari tempat berbiak; Indonesia menjadi pilihan utama (Lihat artikel : Modal Tinggalkan China Pindah ke Indonesia).

Kenaikan suku bunga acuan The Fed akan bertentangan dengan kebijakan ECB dan Bank of Japan yang implikasinya penguatan USD; membuat tekanan pada perekonomian US (seperti peningkatan defisit perdagangan, rendahnya inflasi yang berdampak tekanan pertumbuhan korporasi, dan penurunan lapangan kerja baru). Sementara neraca perdagangan Indonesia - US tidak akan berpengaruh (berdasarkan historical trend) dan tetap surplus; juga merujuk kenaikan Fed Fund Rate medio Desember 2015, tidak terjadi gejolak berarti bahkan sejak Januari 2016 Rupiah mengalami penguatan atau apresiasi.

Sepertinya ada pendekatan dan pemahaman yang salah terhadap masalah global dan kesimpulan sesat yang disampaikan kepada Menteri atau Gubernur BI.

Arnold Mamesah - 7 Juni 2016

Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun