Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Efek Glut : "Deflation Crisis"

6 Maret 2016   01:20 Diperbarui: 6 Maret 2016   12:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Oil Glut - dreamstime.com"][/caption]

Fenomena Minyak Mentah dan Komoditas

Berlimpahnya produksi minyak mentah (Oil Glut) bersama dengan komoditas berdampak pada anjloknya harga minyak mentah dan komoditas dunia. Harga minyak mentah yang berada pada kisaran USD 110 per barel pertengahan 2014 jatuh menjadi dibawah USD 35 akhir Desember 2015. Kondisi tersebut masih terus berlanjut hingga awal Maret 2016 dan berjalan bersama dengan tren turun indeks harga komoditas non energi. "Oil Glut" dan penurunan harga (deflasi) berdampak besar bagi negara yang mengandalkan penerimaan dari energi, khususnya minyak mentah, dan komoditas. Dalam artikel ini hanya dibahas pada negara-negara dengan mata uang berawalan huruf "R" seperti Brazil (Real), Rusia (Rubel), Afrika Selatan (Rand), Malaysia (Ringgit), India (Rupee), dan Indonesia (Rupiah); tetapi tidak mencakup China dengan mata uang Renminbi.

Gambaran dampak deflasi komoditas tersebut diberikan pada Grafik dan Tabel-1 berikut ini.

Tabel-1 : Deflasi Komoditas dan GDP

[caption caption="Prepared by Arnold M"]

[/caption]

Sumber informasi.

Indeks Komoditas : IMF Primary Commodity Prices; dan GDP : IMF DataMapper

Dari Tabel-1, deflasi indeks harga komoditas non energi mulai terjadi pada 2012 sedangkan untuk minyak mentah mulai pada pesat penurunannya sejak 2014, pada 2015 penurunan mencapai hampir 50%.

Negara yang paling terdampak adalah Brazil, dan Rusia (pertumbuhan negatif pada 2015) dan Afrika Selatan. India menunjukkan pertumbuhan yang stabil di atas 7% sedangkan Indonesia dan Malaysia turun tetapi berada di atas 4% pada 2015.

Efek Spiral

Penurunan penerimaan negara akibat deflasi komoditas dan energi tersebut menimbulkan tekanan pada anggaran negara seperti diberikan pada Tabel-2.

Tabel-2 : Defisit - Beban Utang - GDP

[caption caption="Prepared by Arnold M."]

[/caption]

Dari Tabel-2, pertumbuhan India paling tinggi tetapi defisit anggaran di atas 7% dan rasio utang di atas 60% (walaupun trend rasio utang turun). Malaysia defisitnya di atas 3% demi menjaga tingkat pertumbuhan, seperti juga Afrika Selatan yang mengalami defisit hingga 4%. Defisit Rusia di atas 5% walaupun rasio utangnya di bawah 30% dan menanggung pertumbuhan negatif. Kondisi Brazil sangat parah karena defisit hampir 8%, rasio utang di atas 60% dan pertumbuhan GDP negatif hingga 3,8%. Dari indikator defisit dan rasio utang, Indonesia dapat dinilai baik dengan pencapaian pertumbuhan 2015 sebesar 4,79% dalam indikator defisit dan utang tidak melampau ambang batas. (Defisit tidak lebih 3% dan DSR tidak lebih 60%).

Efek spiral deflasi komoditas dan energi berlanjut dengan peningkatan utang yang menekan perekonomian Brazil, Rusia dan juga Afrika Selatan. Berdasarkan prediksi, dengan tekanan pertumbuhan ekonomi global, yang juga dialami "Developed Country" seperti Euro Area, US, dan China, kenaikan harga komoditas dan minyak mentah belum akan terjadi dalam 2-3 tahun ke depan.

Dampak Nilai Tukar

Dari enam mata uang, dampak deflasi diberikan pada Grafik dan Tabel-3.

Grafik tren Indeks Nilai Tukar Efektif (dengan memperhitungkan Consumer Price Index atau inflasi tahunan) terhadap USD.

Grafik-3 : Indeks Nilai Tukar Efektif

[caption caption="Prepared by Arnold M"]

[/caption]

Tabel-4 : Perubahan Nilai Tukar Efektif Dalam 3 Tahun

[caption caption="Prepared by Arnold"]

[/caption]

Sumber Informasi : Federal Reserve Bank of St. Louis, Economic Research

Berdasarkan perbandingan 3 tahun (akhir 2015 dengan akhir 2012), nilai tukar efektif mata uang Rupiah Indonesia terhadap Dolar Amerika (USD) mengalami perubahan negatif (penurunan) -4,2%. Sementara India mengalami kenaikan 8,6%; Malaysia -13,3% dan Afrika Selatan, Brazil, dan Rusia mengalami penurunan lebiih dari 20%.

Efek Glut atau berlimpahnya produksi serta pasokan minyak mentah dan komoditas global; terhadap perekonomian Indonesia, dengan melihat tabel dan grafik di atas beserta penjelasannya, tidak siginifikan seperti yang terjadi di Brazil, Rusia, dan Afrika Selatan. Ini mengindikasikan ketahanan (resilience) perekonomian dan bekal untuk langkah pemulihan dengan optimisme.

 

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

6 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun